Cerita Dua Coffee DC Jadi Korban Aksi Protes George Floyd
Lokasi Dua Coffee DC yang dekat Gedung Putih rentan jadi sasaran aksi massa Floyd.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari
Vivit Kavi tertidur lelap Sabtu (30/5) malam waktu Amerika Serikat. Ia mengaku sangat lelah setelah membuka kembali kedai kopi miliknya Dua Coffee DC.
Sabtu itu adalah hari pertama Dua Coffee DC kembali dibuka setelah 2,5 bulan tutup akibat efek pandemi Covid-19. Menyambut pelonggaran fase pertama di Washington DC itu Vivit sudah mulai membereskan kafenya sedari Jumat.
"Jumat tuh kita siap-siap sneeze guard (pelapis kaca) untuk pembeli kopi," katanya, lewat sambungan telepon dari Washington DC. Setelah 2,5 bulan tutup tentunya ada banyak hal yang harus diurus dan dirapikan.
Pada Sabtu, Dua Coffee DC akhirnya buka kembali. Selepas menutup kedai kopinya pukul 14.00 waktu setempat, Vivit membereskan kedainya dan pulang ke rumah.
"Jam empat aku cabut pulang. Sampai rumah tidak lihat telepon, aku tidur, bangun subuh sudah penuh telepon dengan misscall," kata Vivit.
Ternyata aksi protes kematian George Floyd berimbas ke Dua Coffee DC. Massa memecahkan kaca kedainya. Dia beruntung kaca kedainya ternyata dua lapis dan bagian dalam kacanya tidak pecah. Sehingga tidak ada massa yang bisa masuk dan menjarah mesin kopi atau peralatan lainnya.
"Mesin kopi kita aman, kita aman banget. Alhamdulillah," kata Vivit.
Dua Coffee DC adalah kedai kopi yang menyajikan minuman dari biji kopi Indonesia di jantung Washington DC, Amerika Serikat. Dua Coffee DC terletak di 15th Street di Washington. Lokasinya hanya berjarak sekitar 1,5 blok dari Gedung Putih yang terletak di 16th Street.
Vivit sebenarnya terkejut ketika tahu kedainya menjadi korban kerusuhan aksi protes Floyd. Ketika ia membuka kedainya Vivit merasakan atmosfer yang baik dari massa yang waktu itu memang datang untuk beraksi damai. Vivit mengatakan pemrotes yang ikut serta adalah orang-orang yang membawa stroller atau artinya datang bersama anaknya, atau sembari mengajak anjingnya berjalan keluar.
"Ketika saya tanya ke pembeli mereka juga bilang, aman kok di luar," ujar Vivit.
Ternyata selepas Vivit pulang pukul 16.00, massa yang agresif mulai berdatangan. Vivit diberi tahu petugas kepolisian kalau semakin malam di hari itu kondisi semakin kacau.
Ketika Dua Coffee DC cukup beruntung hanya dipecahkan kacanya, kedai es krim di sebelah Vivit hancur total. Vivit bercerita motor skuter ditabrakkan ke kaca kedai es krim dan massa menjarah habis isinya.
Bahkan minuman yang tersedia di mesin dalam kedai es krim ludes dijarah. "Tapi tidak semua dirusak, Starbucks dekat kita aman," katanya.
Vivit belum tahu kapan akan kembali membuka pintunya ke publik. Bila kemarin dia mengikuti situasi karena pandemi Covid-19, kini ia melihat situasi apakah aksi protes akan kembali panas.
Lokasinya yang sangat dekat dengan Gedung Putih membuatnya harus waspada. "Polisi yang membantu kami mengurus kerusakan bilang jangan dulu dibenarkan kacanya. Tutup saja dulu dengan papan atau lainnya. Karena kita tidak tahu apakah akan ada gelombang aksi massa berikutnya," cerita Vivit yang sudah sejak tahun 2005 tinggal di Amerika.
Dua Coffee DC bersaudara dengan Dua Coffee di Cipete, Jaksel. Dua Coffee DC namun baru dibuka belakangan, tepatnya sejak September 2019. Sekitar enam bulan sejak dibuka, Dua Coffee DC terpaksa tutup karena mengikuti larangan berusaha akibat Covid-19.
Saat dipaksa tutup, Dua Coffee DC fokus ke penjualan biji kopi secara daring. Vivit mengaku mengambil hikmah penutupan akibat Covid-19 membuat penjualan biji kopi yang 85 persen dari Indonesia justru bisa menjangkau pecinta kopi yang lebih luas.
Dua Coffee DC menjual single origin kopi Indonesia seperti dari Jawa Barat, Flores, Kintamani, dan lainnya. Kopi dari negara lain juga ada seperti dari Peru dan Etiopia.
Kalau dulu kopinya hanya dinikmati oleh komunitas sekitar Washington DC, Maryland, dan Virginia, kini biji kopinya bahkan bisa dinikmati hingga warga di California. "Ya itu hikmahnya bagi kami. Kami jadi menerima pesanan kopi dikirim sampai ke Alabama, Chicago, New Mexico bahkan," ujarnya.
Bagi Vivit dan suaminya, mantan penyiar radio Prambors Irfan Ihsan, Dua Coffee DC adalah bayi mereka. Pasalnya tidak mudah membangun bisnis sendiri di Amerika. Apalagi bisnis ini murni dimiliki oleh orang Indonesia.
Tak hanya sulit dari segi izin, sertifikat, dan lainnya, Dua Coffee DC juga harus mengenalkan cita rasa kopi Indonesia yang sebenarnya berbeda dengan kopi Amerika. Vivit yang dulu pernah bekerja di VOA itu menjelaskan, kopi di Amerika tersaji dengan rasa dark roast.
"Kopi kita itu light medium roast," katanya. Kopi yang disajikan juga mencoba mengambil rasa yang populer di Tanah Air seperti kopi susu dengan gula aren atau kopi dengan air kelapa.
Rasa kopi Indonesia itu namun disebut Vivit berhasil diterima di Amerika. Terbukti ketika mereka tutup Vivit banyak menerima pesan dari pelanggan bahwa mereka kehilangan Dua Coffee DC. Bahkan ada yang menawarkan membuat crowdfunding untuk membiayai pembukaan kembali pascapandemi.
"Itu sangat kami syukuri. Alhamdulillah kami bisa diterima. Bisa dilihat ulasan kami baik di Yelp dan Google Review. Ulasan itu dilakukan mandiri dan tumbuh organik. Beda seperti di Indonesia yang populer berkat Instagram Stories, di sini tidak begitu," katanya.
Dua Coffee DC yang dekat dengan Washington Post juga kerap dijadikan tempat rapat stafnya. Dukungan dari KBRI di Washington DC disebutnya pun baik. Termasuk dari komunitas orang Indonesia di Washington DC dan sekitarnya.
Vivit berharap situasi di Amerika, khususnya di DC, semakin membaik. "Kami memantau suasana kerusuhan terus menerus, mungkin kami akan buka hanya saat jam makan siang. Karena polisi mengatakan kondisi baru mulai rusuh setelah sore. Sepanjang siang kondisi cukup kondusif," terangnya.
Tapi Vivit masih belum tahu. "Kita mau lihat dulu, aman atau tidak," ujarnya.