Studi Barat: Fundamentalisme Amerika Lebih Bahaya dari Agama

Fundamentalisme agama bahaya tapi fundamentalisme Amerika lebih bahaya

Kim Kyung-Hoon/Reuters
Fundamentalisme agama bahaya tapi fundamentalisme Amerika lebih bahaya. Ilustrasi bendera Amerika
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Islam merupakan salah satu agama yang mendapat sorotan tajam. Ini terjadi karena berbagai peristiwa berdarah yang melibatkan umat Islam, terutama tragedi Black Tuesday 11 September 2001 yang menelan ribuan korban manusia tak berdosa.

Baca Juga


Penyerangan gedung World Trade Center dan Pentagon, simbol kekuasaan ekonomi dan kedigdayaan militer Amerika Serikat, konon dilakukan oleh kelompok fundamentalis Alqaidah, pimpinan Usamah bin Ladin. Indonesia juga menjadi korban serangkaian tragedi kemanusiaan yang memilukan, seperti tragedi Legian Bali, JW Marriot, terakhir di depan Kedubes Australia, serta berbagai aksi bom lainnya, yang ditengarai dilakukan oleh kelompok fundamentalis Islam.

Kaum fundamentalisme Islam digambarkan dan dicitrakan dengan sosok dengan ciri tertentu yang bersifat fisik yang senantiasa menyerukan perlawanan. Menurut pandangan umum, kaum fundamentalis lahir disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang literal tekstual, gagap terhadap modernitas, yang berupaya kembali pada ajaran orisinal guna mempertahankan kebenaran absolut.

Namun, Karen Armstrong (The Battle for God, Knof, 2000) menyatakan, kemunculan fundamentalisme bukan untuk kembali ke masa silam, melainkan sebagai upaya merespons keadaan masa kini. Fundamentalisme tidak sekadar memelihara doktrin absolut, tetapi juga untuk merespons krisis keberagamaan masyarakat modern.

Tapi, menempatkan fundamentalisme agama, terutama Islam, sebagai satu-satunya persoalan besar, sekaligus musuh, yang dihadapi umat manusia saat ini, adalah pandangan yang simplistis dan bahkan reduktif. Selain fundamentalisme Islam, ada juga sosok fundamentalisme lain yang jauh lebih berbahaya dan bahkan jauh lebih mengerikan, yakni fundamentalisme Amerika Serikat.

Fundamentalisme AS adalah wajah lain dari imperialisme dan hegemoni kekuasaan negera Paman Sam (Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads, and Modernity, Verso, 2003). Fundamentalisme Amerika adalah perpaduan dari kepentingan ekonomi, politik, militer, dan juga agama (fundamentalisme Kristen dan Yahudi).

Fundamentalisme imperial bertujuan untuk mendisiplinkan dunia, mengukuhkan AS sebagai satu-satunya negara super power, kaisar, dan polisi dunia tanpa tanding. Demi menjaga kelangsungan kekuasaan imperial, AS menggunakan kreasi prioritas ekonomi dan strategi kontrol.

AS adalah satu-satunya kekuatan imperium raksasa pasca runtuhnya Uni Soviet. AS bahkan telah menguasai hampir seluruh sektor kehidupan mulai dari ekonomi, budaya, militer, hukum, dan ilmu pengetahuan. Presiden George W Bush ternyata juga berhasrat untuk membangun imperium AS seperti masa kejayaan imperium Romawi (Imperium Romana) di masa silam (Norman Mailer, Why are We at War, Random House, 2002).

Invasi ke Irak adalah salah satu bentuk nyata dari fundamentalisme Amerika. Setidaknya, ada tiga alasan yang membidani invasi ini (Tariq Ali, 2003: xv). Pertama, untuk menguasai ladang minyak Irak karena keberadaan negeri seribu satu malam itu berada di luar kontrol AS. Kedua, kekuatan militer Irak adalah ancaman bagi Israel, anak emas yang sekaligus sekutu AS.

Ketiga, adanya agenda domestik, yakni memenangkan kepentingan kelompok Zionis pro Yahudi di Partai Demokrat dan fundamentalisme Kristen di Partai Republik yang selalu memihak Israel. Bukan rahasia umum jika AS memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap Mossad, agen intelijen Israel.

Dalam perkembangan mutakhir, AS kian mengukuhkan wajahnya yang sangat fundamentalis. Secara psikologis, imperium AS telah mengkonstruksi musuh baru yakni terorisme Islam, sebagai setan dan ancaman global yang dapat meledakkan bom di mana saja dan kapan saja. Secara politis, AS telah menggunakan tragedi 11 September untuk memetakan kembali dunia sekaligus mengontrol dan menguasainya.

Di bidang militer, AS terus memperkuat angkatan perangnya dengan menempatkan pasukan di 120 negara dari 189 negara anggota PBB. Di bidang ekonomi, secara langsung maupun tidak, AS telah menguasai jaringan perekonomian global melalui berbagai agen korporasinya.

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler