Bagaimana Jika Dunia tanpa Islam?
Seorang penulis mengandaikan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Islam tak pernah ada.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah bukunya, sejarawan asal Kanada, Graham E Fuller, membuat pengandaian yang cukup menarik. Ia bertanya: “Bagaimana sebuah dunia yang tanpa Islam?”
Untuk membangun alternatif jawabannya, Fuller pertama-tama menyinggung generalisasi stigma yang kerap dilontarkan Dunia Barat (baca: Eropa-Kristen) kepada Timur atau Islam. Ia berusaha menunjukkan, ada banyak faktor pemicu pertentangan antara Barat dan Timur yang sesungguhya sudah eksis bahkan sebelum Islam datang.
Pertama-tama, Fuller memaparkan sebuah fakta historis: Eropa mengalami perpecahan antara Kekristenan Barat (Katolik) dan Kekristenan Timur (Kristen Ortodoks).
Yang satu berpusat di Roma, sedangkan yang lain di Konstantinopel (kini bernama Istanbul di Turkiye). Sejak 29 Mei 1453, Turki Utsmaniyah sukses menaklukkan Konstantinopel. Maka sejak itu, pusat Kekristenan Timur berpindah ke Moskow (Rusia), yang belakangan disebut juga sebagai "Roma Baru" karenanya.
Antara Katolik dan Kristen Ortodoks tentu memunculkan perbedaan. Dalam hal pusat masing-masing, menunjukkan hal itu.
Konstantinopel adalah wilayah budaya Yunani, sedangkan Roma berbudaya Latin. Fuller mengatakan, bahasa Latin cenderung menimbulkan kesan "bahasa eksklusif", yakni "hanya" dipakai secara fasih oleh kalangan cendekiawan atau bangsawan. Adapun bahasa Yunani malahan mempersatukan kawasan Mediterania.
Pada abad keempat, Kekaisaran Romawi menjadikan Kristen sebagai agama negara. Alih-alih menerima "apa adanya", penguasa Romawi justru menancapkan pengaruh politiknya agar dogma-dogma agama tersebut dapat selaras dengan kemauan penguasa.
Ini terbukti dengan adanya penyelenggaraan Konsili Nicea pada 325. Sejak forum itu, muncul pula aliran-aliran Kristen yang berkaitan dengan, misalnya, ketuhanan Yesus atau Maria.
Menjelang abad kelima Masehi, Romawi pecah jadi dua: kekaisaran yang (masih) berpusat di Roma dan yang berpusat di Konstantinpel. Paus yang bertempat di Roma pun mengalami perubahan "pandangan."
Bagi elite di Konstantinopel, paus di Roma itu tak lebih daripada seorang “uskup agung Roma” sehingga tak berwenang mengeklaim universalitas Kristen. Pada 1054, antara Roma dan Konstantinopel saling mengucilkan.
Perang Salib
Endapan perasaan-perasaan saling curiga antara Kekristenan Barat dan Timur ini, lanjut Fuller, menjadi bahan bakar untuk konflik ratusan tahun ke depan.
Untuk diketahui, ketika pada akhirnya Sultan Mehmed II sukses menaklukkan Konstantinopel pada 1453, orang-orang Kristen Ortodoks justru merasa “beruntung.” Sebab, mereka dikalahkan oleh kaum Muslim Turki, bukan orang Latin yang Katolik. Mereka mafhum bahwa gereja-gereja Kristen Ortodoks akan tetap hidup di bawah pemerintahan Muslim.
Lebih lanjut, menurut Fuller, sesungguhnya Perang Salib yang berlangsung periodik antara abad ke-11 dan 13 Masehi tetap akan terjadi walaupun Islam tidak pernah ada. Perang yang dipicu oleh pidato Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont 1095 itu terjadi selama beberapa tahap.
Yang sering kali orang luput adalah, fakta bahwa Paus Urbanus II dalam pidatonya tidak satu kali pun menyebut "Islam” atau “Muslim” sebagai lawannya, melainkan hanya sebutan “orang kafir” (infidels). Sebutan infidels sesungguhnya tidak memiliki acuan dengan batas-batas yang jelas. Siapapun yang "bukan kita" bisa saja dicap sebagai infidels.
Lihatlah Perang Salib gelombang keempat, yang terjadi pada tahun 1204 M, yakni sekira dua abad sebelum Turki Utsmaniyah menguasai Konstantinopel!
Balatentara Salib justru menyerbu Konstantinopel dan membunuh warga kota itu secara keji. Padahal, umumnya penduduk setempat adalah sama-sama Kristen, sama-sama memuliakan Yesus, sebagaimana (klaim) Tentara Salib sendiri.
Dalam sebuah risalahnya, Paus Innocentius III menegaskan bahwa tujuan jangka panjang pembentukan dan misi Tentara Salib bukan hanya jatuhnya Yerusalem ke tangan Kristen, melainkan juga bersatunya Kekristenan Barat dan Kekristenan Timur. Namun, penyerbuan Salibis (dari Kristen Barat) atas Konstantinopel tentu saja memupus "tujuan jangka panjang" ini.
Senarai peristiwa-peristiwa historis yakni “benturan” antara Barat dan Timur itu dapat saja diteruskan. Namun, akar daripadanya hanyalah embusan sentimen-sentimen yang menegaskan batas “kami-kalian.”
Padahal, persoalan identitas memerlukan kajian yang lebih mendalam dan jernih. Dengan demikian, terwujudlah tujuan mempererat hubungan antarperadaban, bukan malah saling membenturkannya.
Agaknya, dunia lebih memerlukan lebih banyak sejarawan yang mengambil posisi seperti Fuller. Ilmuwan-ilmuwan demikian dapat muncul dari Barat maupun Timur kini.
Mereka yang menilai bahwa polarisasi (baca: membenturkan antara Eropa dan Islam) tidak perlu lagi dilakukan. Sebab, antara kedua kutub dapat berhubungan secara cair, bukan kaku sebagaimana legasi orientalis(me).