Kisah Pekerja Ilegal Indonesia di Inggris Hadapi Pandemi
KBRI memperkirakan pekerja ilegal Indonesia di Inggris berjumlah sekitar 150 orang.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pandemi corona kian membuat banyak pekerja migran di seluruh dunia, baik di negara sedang berkembang maupun negara yang sudah maju. Kondisi ini membuat hidup dalam situasi pelik yang memprihatinkan, termasuk nasib pekerja migran Indonesia di Inggris.
Para pekerja pendatang asal Indonesia yang mengadu nasib di Inggris khususnya dalam situasi tak menentu, dirundung berbagai masalah, apalagi mereka tidak memiliki izin tinggal dan kerja. Mereka ibarat judul film Warkop 'maju kena mundur kena'. Mereka menemui kesulitan di negeri yang jauh dari kampung halaman dan tentunya juga tidak bisa kembali ke Indonesia karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan.
"Saat ini yang kami catat untuk pekerja ilegal kurang lebih 46 orang," ujar Siti Wahida, yang menjadi pembina Indonesian Networking Development United Kingdom (INDUK) yang menjadi wadah pekerja migran asal Indonesia yang ada di Inggris, kepada Antara London, Sabtu (6/6).
Dia mengatakan, akibat karantina wilayah di negeri Shakespeare yang masih berlangsung hingga saat ini, yang dipicu pandemi corona, otomatis mereka kehilangan penghasilan. "Bayangkan hidup tanpa penghasilan di negeri yang segalanya cukup mahal," tuturnya.
Sementara simpanan mereka juga sudah hampir habis untuk bertahan hidup dan membayar sewa tempat tinggal. Bahkan mereka, tinggal berenam dalam satu kamar, ujar Ketua INDUK Ani M Madyasin.
Dalam laman Facebook INDUK, Ani Madyasin menyebutkan saat ini ada beberapa saudara sebangsa yang sedang mengalami masalah yang cukup pelik. Mereka tidak memiliki surat-surat izin layaknya orang tinggal di negeri orang.
Dalam unggahan di laman INDUK, Ani mengajak warga Indonesia yang berkecukupan untuk menyumbang. Ani mengetuk hati rekan-rekan yang memiliki kelonggaran dana untuk mengulurkan tangan membantu para migran Indonesia di Inggris.
Sebagian warga negara Indonesia yang bekerja di sektor informal di Inggris kehilangan pekerjaan seketika, tatkala pemerintah memberlakukan lockdown atau karantina wilayah untuk mengendalikan penyebaran virus corona sejak tanggal 23 Maret lalu.
Mereka langsung terdampak terutama bagi pekerja harian di sektor rumah tangga dan restoran. Pemilik restoran memilih menutup tempat usaha setelah ditetapkan hanya boleh melayani pesan antar dan pesan dibawa pulang.
Jasa pekerja rumah tangga juga tidak banyak diperlukan lagi, sebab majikan rata-rata bekerja di rumah, anak-anak mereka tidak pergi ke sekolah. Bahkan ada pula majikan yang kehilangan pekerjaan. Otomatis tak ada lagi mata pencaharian yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka di Inggris dan juga keluarga besar mereka di Indonesia.
“Saya yang turun di lapangan, seperti menghubungi mereka dan bertanya keadaan mereka dan kadang saya tanya apa yang mereka butuhkan bisa kita belikan contohnya obat sakit kepala , atau kadang saya tanya mereka masih punya makanan, itu menjadi tugas saya sebagai sekretaris di LazisNu, badan yang dibentuk Pengurus NU di Inggris," ujar Siti Wahida.
Menurut Siti, para pembina, pengurus dan ketua LazisNu bekerja membantu para pekerja ilegal itu. "Alhamdullilah saat ini sudah ada enam orang yang sudah kembali bekerja," katanya.
LazisNu yang diketuai Taufik Widjanarko meminta bantuan dari para relawan untuk membelikan serta mengantarkan ke alamat para pekerja ilegal , dan juga langsung mentransfer bagi mereka yang punya rekening untuk belanja sendiri.
“Kita kasih daftar barang apa yang harus dibeli dan alhamdulillah mereka pun belanja sesuai kebutuhan. Hal itu sangat memudahkan tugas kami , karena jarak yang jauh dan situasi lockdown tentunya sangat sulit,” ujarnya.
Masalah pekerja ilegal tidak saja ada di Inggris tapi di berbagai negara besar di dunia seperti di Amerika dan juga di Belanda, ujar warga Indonesia yang menetap di Inggris, Eddy Gada Manurung.
Eddy yang pernah bekerja di Industri pesawat terbang Nusantara mengaku pernah menjadi illegal worker di Amerika sebelum menetap di Bristol, Inggris.
Walaupun Inggris tidak menjadi tujuan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara resmi, namun banyak warga Indonesia bekerja sebagai pekerja domestik seperti di restoran dan toko-toko kecil.
Mereka biasanya masuk ke Inggris dibawa majikan dari negara-negara Timur Tengah dan Asia. Belakangan terdapat sejumlah WNI yang masuk dengan menggunakan visa turis, tetapi bertujuan bekerja.
Data KBRI London menunjukkan jumlah warga Indonesia terdaftar di Inggris mencapai 9.362 orang dari jumlah itu terdapat sekitar 250 orang bekerja di sektor domestik. KBRI memperkirakan mereka yang tidak terdaftar berjumlah sekitar 150 orang, meskipun perkiraan lain menempatkan angkanya lebih tinggi.
Sementara Eddy mengatakan sebagai orang Indonesia di Inggris, dia ingin semua WNI menjadi warga yang baik. Namun tidak semua di antara mereka mampu tidak tergoda melakulan hal-hal yang melanggar hukum. Khususnya kalangan illegal worker.
Menurut Eddy, ilegal worker adalah mereka yang memiliki legal entrance dan tidak bisa bekerja, tapi mereka bekerja. Ada juga yang memiliki illegal entrance dan bekerja. Kedua kategori itu pada akhirnya merupakan kesalahan pada hukum imigrasi negara setempat.
Dia mengatakan hal itu bisa terjadi karena banyak hal. Mereka ingin bertahan hidup. Mereka ingin hidup secara layak.
Saat perusahaan pesawat terbang di Bandung mengurangi karyawannya, Eddy yang menjadi karyawan di sana saat itu ditawari pensiun dini. Akhir 1999, Eddy mengambil tawaran itu dan dengan uang pensiun dini yang ia terima bertualang ke negerinya Donald Trump pada Maret 2000.
Eddy yang mengamati persoalan pekerja ilegal itu menyebutkan umumnya pemerintah setempat sebenarnya tahu ada praktik memanfaatkan illegal worker hanya saja di negara maju, hanya sedikit majikan yang mau mempekerjakan mereka sekalipun dengan imbalan yang kecil.
Negara maju ingin semua bisnis di negaranya berjalan dengan lancar dan mengerti keadaan manusia dari negara lain. Sejauh masih mendukung roda ekonomi mereka, mereka akan tutup mata, demikian Eddy Manurung yang pernah bekerja di satu perusahaan perangkat lunak di negeri yang melahirkan penyair hebat abad 20, Thomas Stern Elliot itu.