Anies dan Kepala Daerah, Jangan Tergesa Buka Kembali Sekolah

Pembukaan sekolah sangat berisiko memunculkan gelombang kedua infeksi Covid-19.

Antara/Arif Firmansyah
Petugas sekolah menyemprot cairan disinfektan pada kelas yang telah diatur jarak antar siswa di SMK Kosgoro, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/6/2020). Sekolah tersebut mulai melakukan persiapan protokol kesehatan jelang tahun ajaran baru seperti pembatasan jumlah siswa, penerapan jarak duduk, penggunaan cairan pencuci tangan di setiap kelas dan penyemprotan cairan disinfektan secara rutin dalam masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) wilayah Kota Bogor menuju tatanan hidup baru (new normal) saat pandemi COVID-19
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Miliaran pelajar di seluruh dunia terpaksa dirumahkan atau harus melaksanakan kagiatan pembelajaran jarak jauh secara daring akibat pandemi corona. Berdasarkan data yang dirangkum UNESCO, sampai akhir Maret atau kurang dari dua bulan setelah kasus pertama Covid-19 di luar China terkonfirmasi oleh WHO, lebih dari 90 persen siswa-siswi di dunia terdampak penutupan sekolah.

Pada April, masih berdasarkan data UNESCO, sekitar 1,6 miliar pelajar di 194 negara menjadi bagian dari eksperimen global pembelajaran jarak jauh melalui internet. Hingga 5 Juni, sebanyak 1,1 miliar pelajar  masih belum bisa kembali ke sekolah, meski beberapa negara telah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial.

Di Indonesia, setelah sekitar hampir tiga bulan pembelajaran jarak jauh diterapkan, tahun ajaran baru akan kembali dumulai pada 13 Juli 2020. Pengumuman kalender akademik oleh Kemendikbud dan dinas pendidikan di tingkat daerah sempat memunculkan spekulasi akan segera dibukanya kembali sekolah.

Pada Kamis pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan  menetapkan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dengan istilah PSBB transisi. Pada masa PSBB transisi ini, proses belajar mengajar siswa dan guru tetap dari rumah, tidak berkegiatan di sekolah.

Anies menegaskan, kegiatan belajar mengajar di sekolah akan dimulai jika kondisi Jakarta sudah benar-benar aman dari Covid-19. Jika belum aman, kegiatan belajar mengajar tetap akan dilaksanakan secara jarak jauh hingga waktu yang belum ditentukan.

Jakarta memang belum aman dari Covid-19. Setelah sempat mengalami tren penurunan jumlah kasus baru, pada Ahad (7/6) wilayah Ibu Kota kembali menjadi provinsi tertinggi dengan tambahan 163 kasus dari total 632 kasus baru selama 24 jam terakhir. Meski jumlah pasien sembuh dari Covid-19 di Jakarta juga tinggi, rata-rata tambahan kasus baru Covid-19 masih pada kisaran seratusan kasus per hari.

Sebagai provinsi yang mencatatkan kasus pertama Covid-19 pada awal Maret, Jakarta dengan semua aturan pembatasan sosial dan larangan pergerakan manusia selama dua bulan terakhir akan menjadi contoh bagi daerah lain dalam hal pengambilan kebijakan pascapandemi. Masa PSBB transisi akan sangat menentukan bagi Anies sebagai kepala daerah dalam pengambilan keputusan termasuk apakah akan kembali membuka seluruh atau sebagian sekolah di DKI.

Anies juga perlu berkaca dari negara-negara lain yang belakangan mulai membuka kembali sekolah seiring pelonggaran lockdown setelah kasus Covid-19 berhasil dikendalikan. Namun sayangnya, upaya menormalisasi kondisi kegiatan belajar mengajar secara tatap muka berujung pada munculnya kasus baru di kalangan siswa. Finlandia, India hingga Korea Selatan (Korsel) menjadi contoh bahwa pembukaan sekolah saat vaksin Covid-19 belum ditemukan seperti perjudian dengan siswa dan guru sebagai taruhannya.

Ada kepala daerah yang senada dengan Anies, namun ada juga yang akan membuka sekolah di zona hijau dengan pengaturan jaga jarak antarbangku/meja hingga pembatasan jam belajar. Ketidakseragaman kebijakan ini, imbas dari belum adanya keputusan atau arahan kebijakan dari Kemendikbud soal kelanjutan nasib kegiatan belajar mengar pada masa pandemi. 

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) baru-baru ini mengadakan survei terhadap orang tua, guru dan peserta didik di 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 85,5 persen orang tua khawatir jika sekolah dibuka kembali saat Covid-19 masih mewabah dan vaksin belum ditemukan.

PGRI melakukan survei kepada 61.913 orang tua, 19,296 guru, dan 64.386 peserta didik. Survei disebar melalui jaringan organisasi di 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hanya 14,5 persen orang tua yang tidak khawatir jika putra putrinya kembali ke sekolah, berdasarkan survei itu.

Mayoritas orang tua tetap menghendaki pembelajaran dilanjutkan dengan cara daring. Berdasarkan survei tersebut juga, sebanyak 72,2 persen orang tua setuju pembelajaran jarak jauh, sementara sisanya 27,8 persen tidak setuju. Mereka juga menyatakan, siswa mengikuti pembalajaran jarak jauh dengan baik sebanyak 68,5 persen dan 31,5 persen menyatakan belum baik.



Survei PGRI di atas bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi Anies, kepala daerah lain, dan juga Kemendikbud sebelum mengambil keputusan soal sekolah. Kecemasan para orang tua wajib menjadi dasar pengambilan keputusan bahwa tatanan new normal bukan berarti sekolah-sekolah juga mesti ikut segera dibuka padahal penyebaran Covid-19 di negara ini sebenarnya belum berhasil dikendalikan.

Memang, penerapan sistem pembelajaran jarak jauh bukannya tanpa masalah. Baik siswa, orang tua murid, dan guru banyak yang gagap atas eksperimen sistem pembelajaran daring. Namun, bukankah keselamatan siswa-siswi harus menjadi prioritas? Jangan sampai, sekolah tempat meniba ilmu demi masa depan generasi penerus bangsa malah jadi episentrum gelombang kedua infeksi corona.

*penulis adalah jurnalis Republika.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler