Guru Besar IPB Dukung Rencana Prabowo Tambah Lahan Sawit

Syaratnya, lahan hutan yang rusak hanya 70 persen yang ditanami kelapa sawit.

Tim Media Prabowo
Presiden Prabowo Subianto ingin menambah tanaman kepala sawit di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto memiliki niatan menambah luas lahan sawit. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Yanto Santoso, menjelaskan, langkah itu itu tidak masuk dalam kategori deforestasi jika menggunakan hutan negara yang terdegradasi atau hutan yang tidak berhutan. Syaratnya, hutan yang rusak tersebut hanya 70 persen yang ditanami kelapa sawit, dan sekitar 30 persen sisanya ditanam meranti, ulin, kayu hitam, dan lainnya.

Baca Juga


Dia mengungkapkan, justru kalau sistem penanaman sawit tetap memperhatikan komposisi untuk tanaman hutan bisa disebut reforestasi. Yanto menjelaskan, sekitar 30 persen lahan harus ditanami tanaman hutan setempat agar tidak monokultur yang sangat rentan munculnya gangguan ekologi.

"Dari tidak berhutan, tidak bertumbuh tumbuhan, kemudian diubah menjadi tanaman sawit. Tidak murni ya (70 persen sawit, 30 persen tanaman hutan). Maka justru itu menghutankan kembali kan? Jadi betul Presiden, tidak ada deforestasi," kata Prof Yanto dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (11/1/2025).

Yanto menyampaikan, apabila tujuan Presiden Prabowo dalam menambah lahan sawit untuk memastikan kecukupan ketersediaan pangan bagi bangsa, tidak seharusnya hal tersebut diributkan. Apalagi, kelapa sawit merupakan tanaman yang multi manfaat.

"Saya juga tidak setuju kalau hutan yang rimba raya ditebang kemudian ditanami sawit. Sayang. Tapi ini kan hutan rusak, ya nggak apa-apa. Justru hutan yang rusak tersebut ditingkatkan produktivitasnya," jelasnya.

Menurut Yanto, jumlah hutan yang tidak berhutan di Indonesia sebanyak 31,8 juta hektare. Selama ini, hutan rusak yang nganggur dan tidak terpantau justru bisa membahayakan karena seringkali tiba-tiba kebakaran. "Seringkali ada kebun sawit yang terbakar, ternyata sumber api dari kawasan yang tidak terkelola. Hutan yang dibiarkan telantar," ujar Yanto.

Dia pun menjelaskan terkait definisi deforestasi. Ada perbedaan pandangan antara deforestasi menurut definisi internasional dan Indonesia. Deforestasi menurut definisi internasional adalah perubahan areal berhutan menjadi areal yang tidak berhutan. Tidak peduli apakah kawasan hutan atau tanah rakyat.

"Hutan yang ditebang habis menjadi gundul itu namanya deforestasi. Demikian juga hutan alam. Pokoknya nggak peduli siapa yang punya mengubah hutan menjadi tidak berhutan itu disebut deforestasi," ucap Yanto.

Adapun deforestasi berdasarkan definisi Indonesia adalah perubahan kawasan hutan negara yang awal tujuannya untuk kehutanan berubah menjadi peruntukan bukan untuk kehutanan. Contoh untuk kepentingan industri, transmigrasi, kebun, sawah dan lainnya. "Itu namanya deforestasi. Dalam bahasa sederhana, namanya alih fungsi kawasan atau perubahan peruntukan area," kata Yanto.

Menanggapi pernyataan terkait tanaman sawit tidak bisa menyerap karbon dioksida (CO2), Yanto justru mempertanyakannya. Menurut dia, aneh bagi orang yang menyebut sawit tidak bisa menyerap CO2. Karena secara teori tanaman yang berbuah dan buahnya dipanen, pasti melewati proses fotosistesis yang membutuhkan CO2. "Sawit itu sama dengan tumbuhan lainnya bisa menyerap CO2," kata Yanto.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan ingin menambah tanaman kepala sawit. Dalam pidatonya, di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN Tahun 2025-2029 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, pada 30 Desember 2024, Prabowo menyebut tidak perlu takut dengan deforestasi.

"Dan saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, enggak usah takut membahayakan, apa itu deforestation, iya kan," kata Prabowo. Dia menambahkan, kepala sawit juga pohon berdaun yang juga bisa mengeluarkan oksigen dan menyerap CO2.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler