Soal Ganjil Genap Sepeda Motor, Legislator: Hanya Sementara

Legislator mengatakan pertimbangan ganjil genap sepeda motor untuk kesehatan warga.

Antara/Sigid Kurniawan
Sejumlah melintas di dekat kawasan aturan ganjil-genap, Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Sabtu (6/6/2020). Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Pergub nomor 51 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif yang didalamnya mengatur pembatasan kendaraan dengan rekayasa ganjil-genap untuk sepeda motor dan mobil.
Rep: Ali Mansur Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan sistem ganjil genap untuk sepeda motor menuia pro dan kontra di masyarakat. Pembatasan kendaraan roda dua itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 tahun 2020 terkait PSBB pada masa transisi.

Baca Juga


Terkait hal itu, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiono menegaskan tidak mungkin sebuah kebijakan tanpa kajian, termasuk penerapan ganjil genap. Apalagi hal ini merupakan masalah krusial, tapi semuanya bermuara pada pencegahan penularan. "Kebijakan ini hanya sementara. Jadi kebijakannya hanya sampai tanggal 18 Juni jadi bukan seterusnya," ujar politikus Partai Demokrat, Senin (8/6).

Mujiono mengakui, kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tersebut lebih pada pertimbangan ke kesehatan dibanding ke ekonomi. Memang, kata Mujiono, beberapa kelompok masyarakat yang tidak setuju terkait kebijakan. Namun setidaknya, tidak semua sepeda motor dikenakan penerapan, tapi tidak dengan Ojok Online (Ojol).

"Makanya kemarin saya usulkan jam kantornya yang menyesuaikan supaya tidak terjadi penumpukkan di transportasi umum. Misalnya di Sudirman jam sekian sampai jam sekian terus yang thamrin jam sekian jam sekian diatur begitu supaya tidak terjadi penumpukkan," jelas Mujiono. 

Sebelumnya Mujiono mengaku sepakat dengan langkah Gubernur Anies Baswedan terkait PSBB. Karena memang jika melihat kondisi saat ini, menurutnya, PSBB harus diperpanjang. Karena sejak pemerintah menggaungkan istilah kenormalan baru dalam fase menghadapi Covid-19, aktivitas warga mulai meningkat. 

Namun ia mengingatkan menerapkan kenormalan baru tanpa persiapan yang matang maka bakal menjadi bumerang yang sangat merugikan nantinya. Karenanya itu perpanjangan PSBB ini menjadi persiapan atau transisi untuk kenormalan baru.

"Saya kira penarapan new normal (kenormalan baru) tanpa mempersiapkan protokol kesehatan baru akan sangat berbahaya. Bahkan jika dipaksakan tanpa persiapan new normal berpotensi menyebabkan gelombang baru Covid-19," tegas Mujiyono. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler