New Normal Pesantren Harus Berkaca pada Prancis dan Korsel
Prancis dan Korea Selatan yang gagal menerapkan new normal di tengah pandemi.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) Prof Dr Didin Hafidhuddin menuturkan, wacana dan kebijakan new normal di dunia pendidikan adalah salah satu tahapan new normal yang perlu diperhatikan secara seksama. Jika tidak, maka akan menjadi malapetaka baru bagi korban Covid-19 ini.
"Kita harus berkaca kepada Prancis dan Korea Selatan yang gagal menerapkan new normal di tengah pandemi yang belum landai, di mana anak-anak sekolah justru terpapar virus corona," kata dia dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (8/6).
Didin menjelaskan, pesantren adalah salah satu model pendidikan Islam yang menggunakan manajemen asrama untuk mendidik santri (boarding). Model boarding ini meniscayakan santri tinggal di asrama selama 24 jam.
"Tidak seperti sekolah biasa yang hanya delapan jam di sekolah, selebihnya di rumah, maka pesantren memiliki tingkat interaksi yang sangat tinggi. Berbagai fasilitas pesantren seperti dapur, kamar tidur, kantin dan kamar mandi menjadi fasilitas yang digunakan secara massal," kata dia.
Karena itu, lanjut Didin, ketika terjadi wabah semisal sakit kulit, DBD, dan hepatitis, begitu cepat menular kepada santri lain. Bahkan pilek, batuk dan sakit mata juga bisa menular dengan cepat di kalangan santri karena interaksi intensif antara santri.
Didin juga mengingatkan, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki jumlah santri yang cukup banyak. Ada beberapa pesantren yang memiliki santri diatas 1.000 orang. Bahkan ada pesantren yang menampung santri lebih dari 10.000 orang.
"Sementara fakta angka jumlah pesantren di Indonesia yang terdata di Kementerian Agama sebanyak 28.194 pesantren yang menampung 5 juta santri berasrama dengan jumlah guru sebanyak 1,5 juta orang," tutur dia.
Menurut Didin, new normal di pesantren di mana para santri kembali datang dari berbagai daerah di Indonesia sangat rawan menjadikan pesantren sebagai klaster baru penyebaran corona. Apalagi orang yang terpapar corona bahkan tidak memiliki gejala khusus.
Karena itu juga, Didin menyarankan agar penerapan skenario new normal di pesantren dilakukan saat wabah Covid-19 sudah hilang sama sekali. Sebab, interaksi tinggi sesama santri sangat rawan terhadap penularan virus.
"Lebih baik menyelamatkan nyawa santri meski waktunya lama, daripada terburu-buru, namun berakibat fatal atas hilangnya nyawa para santri," jelasnya.