Risiko Kesehatan dari Pesawat Berpenumpang 70 Persen

Protokol kesehatan yang ketat menjadi sangat penting bagi penumpang pesawat.

Antara Foto/Kornelis Kaha
Seorang penumpang pesawat menggunakan pelindung wajah duduk di ruang tunggu keberangkatan bandara El Tari Kupang, NTT, Senin (8/6/2020). Pemerintah membuat aturan menaikkan kapasitas penumpang pesawat hingga 70 persen.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Febrianto Adi Saputro, Arif Satrio Nugroho, Rizky Suryarandika, Haura Hafizhah

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) angkat bicara terkait peningkatan kapasitas pesawat yang kini bisa mengangkut hingga 70 persen penumpang. IDI berpendapat sebaiknya kapasitas angkut pesawat hanya 50 persen baru kemudian dinaikkan bertahap.

"Sebaiknya 50 persen dulu, nanti dievaluasi kalau sudah agak mereda baru tambah lagi, artinya bertahap," kata Wakil Ketua Pengurus Besar (PB) IDI Slamet Budiarto di Jakarta, Rabu (10/6).

Dia mengatakan, jumlah penumpang yang mencapai 70 persen akan lebih menimbulkan risiko kesehatan dibanding jumlah angkut 50 persen. Lanjutnya, artinya penularan virus Covid-19 akan lebih berpotensi menular dengan kapasitas penumpang 70 persen dalam satu pesawat.

Dia mengakui peningkatan kapasitas angkut itu dilakukan guna menyelamatkan ekonomi. Karena itu IDI meminta pemerintah dan maskapai untuk menerapkan semua protokol kesehatan dengan ketat dalam industri penerbangan.

"Kondisinya memang dilema ini tapi yang penting adalah protokol kesehatan. Idealnya itu 50 persen, tapi kalau 70 persen ya tidak masalah selama mengikuti protokol kesehatan," katanya.

Dia kembali mengingatkan protokol kesehatan yang utama adalah menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Dia menegaskan, maskapai juga harus menaati protokol jaga jarak meskipun telah diperbolehkan mengangkut penumpang dalam kapasitas 70 persen.

"70 persen itu jaraknya masih bisa memenuhi syarat tidak? Tinggal dihitung kalau memenuhi syarat ya nggak apa-pa, tapi kalau tidak ya sebaiknya jangan," katanya.

Kemarin, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2020 tentang Operasional Transportasi Udara dalam Masa Kegiatan Masyarakat Produktif dan Aman dari Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Aturan tersebut mengizinkan maskapai untuk mengangkut penumpang dengan kapasitas 70 persen.

Wakil Ketua Komisi V DPR Ridwan Bae menilai keputusan Kemenhub menghapus batasan 50 persen jumlah penumpang bukan keputusan yang salah. Sebab menurutnya, meskipun Kemenhub menghapus batasan jumlah penumpang, namun protokol kesehatan tetap diterapkan.

"Jadi bukan satu masalah karena penerbangan tetap memberlakukan tentang protokol kesehatan," kata Ridwan, saat dihubungi Republika.co.id.

Ia mencontohkan, dalam suatu pesawat kelas bisnis telah diatur bahwa yang diisi hanya di sisi kanan dan sisi kiri. Begitu juga di kelas ekonomi yang mengosongkan kursi di bagian tengah. Justru ia mempertanyakan diperbolehkannya ojek daring (ojol) beroperasi kembali.

"Ojol kan bisa membonceng, kenapa ojol tidak dipersoalkan, yang dipersoalkan cuma pesawat. Padahal pesawat justru ada jaraknya, kalau di ojol tidak ada jarak," ujarnya.

Ia juga meminta agar pemerintah menyiapkan tempat rapid test bagi calon penumpang di stasiun, maupun bandara. "Sangat diperlukan kontrol itu. Rapid tes segala macam (perlu) disiapkan semuanya," jelasnya.

Anggota Komisi V, Syahrul Aidi Ma'azat, mengkritik pelonggaran kapasitas transportasi umum. Ia justru menilai aturan tersebut dinilai tak jelas dasarnya.

"Aturan yang muncul justru berupa pelonggaran. Ironisnya lagi pasal yang dilonggarkan adalah terkait pengendalian transportasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai PSBB," kata Syahrul.

Ia menyoroti dihilangkannya batasan dalam seluruh pasal yang memuat aturan besaran pembatasan jumlah penumpang. Padahal dalam kondisi dibatasi saja jumlah penderita Covid-19 masih terus meningkat, apalagi jika kemudian terjadi pelonggaran.

"Tidak ada referensi yang jelas karena memang new normal hanya diklaim sepihak pemerintah tanpa beleid yang jelas," kata dia.

Baca Juga




Ia menyebut, efek dari ketidakjelasan new normal ini mengakibatkan teknis pelaksanaan di lapangan menjadi absurd dalam kebijakan di berbagai kementerian termasuk kementerian Perhubungan. Ia mencontohkan, Permenhub ini pada pasal 14 a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase/kuantitas pembatasan.

Ia khawatir akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan. "Ada yang diperbolehkan ada yang tidak," kata politikus PKS ini.

Permenhub ini, kata Syahrul juga membuka peluang besar terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19 yang luar biasa. Sebab, isinya tidak konsisten. Di saat orang disuruh jaga jarak namun persentase orang berkumpul dalam 1 moda transportasi melebihi 70 persen atau tidak di batasi di beberapa moda.

"Pertanyaan selanjutnya logika apa yang mau dibangun pemerintah untuk menyelamatkan masyarakatnya?" kata dia.

Ia pun mengimbau pemerintah agar lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan berdasarkan riset. Sebab, persoalan epidemiologi tidak bisa memakai perkiraan sepihak yang tidak jelas tujuan  dan standarnya.

Protokol kesehatan yang lebih ketat harus menjadi syarat bagi penumpang pesawat saat kapasitas dinaikkan menjadi 70 persen. Pengamat penerbangan Alvin Lie meragukan rapid test dan tes swab PCR (polymerase chain reaction) yang wajib dilakukan penumpang pesawat beberapa hari sebelum terbang. Alvin menyarankan agar penumpang menjalani tes tepat sebelum pesawat berangkat.

Alvin menyoroti kebijakan pemerintah menaikkan jumlah dan mengizinkan rapid test saja bagi penumpang pesawat. Menurutnya, kenaikan itu tak masalah asal diiringi protokol kesehatan yang ketat, termasuk soal tes guna memastikan penumpang tertular corona atau tidak.

Selama ini, ia memandang tes PCR dan rapid test tak efektif karena diambil beberapa hari sebelum naik pesawat. Selama kurun waktu menunggu hasilnya keluar, bisa saja calon penumpang pesawat tertular corona.

"Kunci corona bukan hanya PCR atau rapid karena sampel sementara. Hari ini diambil, hasil keluar beberapa hari kemudian, tapi bisa saja kena corona selama kurun waktu menunggu hasil itu," kata Alvin pada Republika, Rabu (10/6).

"Uji corona bukan hasil pasti. Setelah diambil bukan berarti sehat terus dalam kurun waktu 3 (rapid) atau 7 (PCR) hari, itu non-sense. Seolah itu vaksinasi jadi kebal," tambah Alvin.

Alvin menyarankan tes pada penumpang pesawat dilakukan di bandara. Selama menunggu hasilnya keluar, penumpang dikarantina di bandara tanpa boleh bertemu siapapun.

"Kalau mau benar, pas di bandara diujinya, lalu dikarantina tidak boleh ke mana-mana. Habis itu baru naik pesawat. Itu baru betul ketahuan seseorang positif atau negatif ketika mau berangkat," ujar Alvin.

Alvin juga mengingatkan agar protokol kesehatan wajib dipatuhi semua orang yang berkecimpung di dunia penerbangan, baik penumpang, maskapai atau pengelola bandara. Dengan demikian maka penularan corona di dunia penerbangan bisa dicegah.

"Protokolnya bagaimana sekarang, mau penumpang 100 persen kalau tiap tempat duduk disekat tidak bisa bersentuhan, dalam pesawat pakai masker, pelayanan selama penerbangan pakai masker jadi aman. Tidak ada masalah itu, selama menjalani protokol kesehatan," ucap anggota Ombudsman tersebut.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penerbangan Indonesia (Perdospi) Wawan Mulyawan meminta pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait keselamatan dan skrining kesehatan penumpang di pesawat komersial. Tidak boleh ada penafsiran yang berbeda di lapangan akibat kebijakan pemerintah daerah yang diambil terkait skrining kesehatan calon penumpang di keberangkatan atau pun penumpang di kedatangan di bandara.

Ia menyarakan agar seluruh dokumen skrining kesehatan calon penumpang diselesaikan di luar proses check in (dapat di area tertentu bandara atau bahkan  lebih baik di luar bandara) dengan memaksimalkan teknologi internet sebagai sarana  pengumpulan dokumen tersebut. Misalnya, saat pembelian tiket. Sehingga tidak terjadi penumpukan orang atau kerumunan saat check in.

"Physical distancing di bandara tetap direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam era New Normal ini. Kami meminta kepada badan usaha atau penyelenggara bandara menyediakan desain interior yang lebih ramah terhadap konsep physical distancing dan memaksimalkan sistem non-kontak dalam berbagai proses check in dan boarding," kata dia.

Lalu, harus ada peraturan penggunaan masker saat di bandara dan di dalam pesawat agar dinaikkan levelnya dari penggunaan masker kain yang standardisasinya sulit menjadi masker bedah (surgical mask) tiga lapis.

Beda Herd Immunity Alami dan Via Vaksinasi - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler