The New Normal Pilkada 2020

Pandemi corona mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan kenormalan baru.

Foto : MgRol_94
Pilkada serentak pada 2020. (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ahmad Nur Hidayat, Komisioner KPU Kota Bandung

Hasil keputusan dalam rapat dengar pendapat pada (27/05/2020) pemerintah bersama Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum telah menyepakati untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tahun ini. Penyelenggaraan setiap tahapan pasalnya akan dilaksanakan dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dengan ketat.

Keputusan ini didasari oleh surat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Surat tersebut menyebutkan gugus tugas memberikan masukan bahwa tahapan pilkada dapat dilanjutkan dengan menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid-19. Alasannya, karena pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan kapan berakhirnya.

Rancangan Peraturan KPU tentang perubahan ketiga atas PKPU No. 15 tahun 2019 tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota tahun 2020 telah disepakati. Tahapan akan dimulai pada 15 Juni 2020 dan pemungutan suara dijadwalkan digelar pada 9 Desember 2020. Empat tahapan pilkada yang sempat tertunda seperti pelantikan Petugas Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP), dan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih akan dilanjutkan kembali.

Akibat dari keputusan ini juga berdampak pada penambahan anggaran pilkada. Komisi Pemilihan Umum membutuhkan anggaran Rp 535,981 miliar.


Bagi KPU penambahan anggaran ini semata-mata hanyalah untuk melindungi penyelenggara, pemilih dan para kontestan. Bagaimanapun keselamatan dan kesehatan jiwa mereka haruslah diprioritaskan. Anggaran tambahan tersebut di antaranya adalah untuk membeli masker, alat pelindung diri, sarung tangan, pelindung wajah dan cairan disinfektan guna tidak memperluas penyebaran virus.

Tantangan
Pelaksanaan pilkada di tengah situasi yang menuju kenormalan baru (new normal) menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari mulai dari aspek penyelenggaraan, aspek penyelenggara pemilu, aspek peserta pemilu dan aspek pemilih. Pandemi corona mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan kenormalan baru.

Dalam konteks Pilkada, ditengah kenormalan baru tentu memiliki problem tersendiri terutama berkaitan dengan kesehatan lebih-lebih keselamatan terhadap penyelenggara Pemilu. Dalam hal kesehatan, misalnya, apakah akan efektif jika penyelenggara Pemilu hanya mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah? Pasti, ada kekhawatiran bagi penyelenggara Pemilu dapat terpapar Covid-19, yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja dan profesionalitas penyelenggara itu sendiri.

Bagaimanapun pelaksanaan pemilihan yang sehat (free and fair election) akan menentukan pemimpin yang dihasilkan. Apabila berkaca pada Pemilu Serentak 2019, banyak penyelenggara Pemilu dari mulai KPPS, PPS, PPK, bahkan KPU tingkat Kota/Kabupaten yang mengalami sakit akibat kelelahan dan kecelakaan kerja dengan durasi waktu yang cukup lama, bahkan di tingkat KPPS juga tidak sedikit yang meninggal dunia. Tentu, hal ini pun juga harus menjadi perhatian bersama.

Belum lagi, permasalahan partisipasi pemilih. Jangankan untuk berpikir datang ke tempat pemungutan suara (TPS), mengenali rekam jejak pasangan calon, mengikuti kampanye dan lain sebagainya.

Fokus masyarakat adalah bagaimana menghadapi keadaan normal baru (new normal) dan menyelamatkan diri masing-masing. Maka tentu sah-sah saja jika ada sebagian pihak yang berasumsi partisipasi pemilih akan menurun signifikan dan trend golput semakin tinggi.

Pelaksanaan pilkada yang berbarengan dengan penanganan musibah covid-19, potensi pelanggaran dimungkinkan akan meningkat, semisal persoalan daftar pemilih yang kemungkinan tidak akurat jika dilakukan secara daring (dalam jaringan), logistik pemilih, potensi korupsi pengadaan barang dan jasa, verifikasi administrasi dan verifikasi faktual serta teknis pemungutan dan penghitungan suara.

Selain itu juga, dalam hal penyelenggaraan tahapan tidak menutup kemungkinan akan terjadi politik uang yang nampaknya semakin merajalela dengan situasi ekonomi rakyat yang sedang melemah. Dalam kondisi pandemi Covid-19, politisasi dana bansos sangat rentan terjadi.

Indikasi politisasi bansos oleh petahana sebelumnya dikabarkan terjadi di sejumlah daerah, dimana petahana yang berpeluang maju kembali di pilkada 2020 menempelkan foto mereka kepada warga terdampak.

Sekalipun Pilkada 2020 akan dilaksanakan ditengah kenormalan baru, namun tentu saja pelaksanaan demokrasi harus mengutamakan kualitas. Mulai dari proses regulasi, integritas penyelenggara, pengawasan, harus menjadi perhatian bersama.

Demokrasi yang berkualitas adalah hasil perjalanan yang panjang dari setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada di mana di dalamnya terdapat akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen calon yang terbuka, pemilihan umum yang jujur, menghormati hak-hak dasar, dan persamaan dalam hak politik (Robert A Dahl). Pilkada yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesungguhnya merupakan sarana untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Paling tidak ada empat hal yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga kualitas demokrasi.

Pertama, untuk menjaga kesehatan para penyelenggara pemilu, maka diperlukan adanya penguatan regulasi yang mengatur tentang hal ini seperti pemeriksaan kesehatan secara gratis yang dilakukan setiap dua pekan sekali, melakukan kerja sama baik dengan BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan perlindungan bagi penyelenggara Pemilu.
 
Kedua, memaksimalkan pendidikan pemilih di tengah situasi new normal dengan merilis persiapan tahapan pilkada secara continue termasuk desain penyederhanaan tahapan melalui media sosial, radio, televisi, penyebaran leaflet atau kelas online. Sejauh ini KPU sendiri selalu melakukan penginformasian kepada publik perihal dinamisasi Pilkada. 

Ketiga, mendorong kepada pemerintah daerah agar melakukan penanganan Covid-19 dengan melibatkan representasi kelompok masyarakat seperti kepala desa dan RT/RW setempat sehingga  bantuan sosial untuk warga terdampak dapat tepat sasaran. Dalam kondisi ini kelompok tersebut juga dapat ikut mengawasi apakah ada potensi politisasi yang diakukan termasuk pengawasan aparatur sipil Negara (ASN).

Keempat, melakukan identifikasi kepada calon kepala daerah/pejawat yang melakukan politisasi Bansos kepada masyarakat umum. Apabila terbukti, segera laporkan kepada pihak berwenang atau Bawaslu setempat untuk dilakukan proses penanganan pelanggaran, karena mempolitisasi bantuan sosial untuk kepentingan politik adalah kejahatan yang luar biasa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler