Menunda Membayar Utang adalah Perbuatan Zalim
Memperlambat membayar utang tergolong zalim kepada sesama saudar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Fikih Muamalah Oni Sahroni mengatakan sebagai debitur, memiliki kewajiban untuk melunasi utang. Jika tidak, maka dia telah berbuat zalim.
"Misalnya memiliki utang Rp 10 juta hari ini meminjam dan berjanji bulan depan akan melunasi. Pada saat jatuh tempo maka jika mampu harus dibayar, namun jika tidak mampu tetapi memiliki aset dapat menjual aset tersebut. Jika tidak melakukannya maka dikategorikan berbuat kezaliman sesama saudara,"ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (14/6).
Seperti hadist Rasulullah Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah.
Hadist ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang ta'zir atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Dalam fatwa tersebut disebutkan sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik membayar utangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
"Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah," demikian penjelasan dalam Fatwa DSN.