PPFI Pertanyakan Protokol Kesehatan buat Industri Perfilman
Protokol kesehatan untuk yang lain sudah, mengapa (untuk) film belum ada
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengurus Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan protokol kesehatan khusus untuk industri perfilman. Dengan adanya protokol kesehatan itu diharapkan tidak akan ada lagi 'tikus-tikus' yang berani mencuri jadwal syuting tanpa izin.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum PPFI Deddy Mizwar, Selasa (16/6) di Jakarta. “Yang lain sudah, mengapa (untuk) film belum ada,” katanya Deddy dalam diskusi melalui virtual kepada wartawan.
Deddy mengkhawatirkan aktifitas syuting yang tidak mengikuti protokol kesehatan khusus akan bisa menciptakan kluster baru bagi penyebaran virus corona. Dari laporan yang diterima, kata dia, suasana di beberapa lokasi aktifitas syuting seperti di masa normal saja.
“Ini sungguh mengerikan. Ini jelas bisa mengorbankan insan film yang terlibat syuting dan secara umum dunia perfilman Indonesia. Kalau ada yang kena, siapa nanti yang bertanggungjawab,” ujarnya.
Mengenai syuting film dan sinetron yang dilakukan beberapa produser film, Deddy mengaku PPFI tidak mempunyai kewenangan untuk melarang. Pihaknya, kata dia, hanya bisa mengimbau dan mengingatkan para insan film untuk mematuhi dan menaati protokol kesehatan.
“Jangan sampai ada lagi tikus-tikus yang mencuri kesempatan. Ini berbahaya,” ujar pemeran tokoh Nagabonar ini.
Lebih lanjut Deddy setuju dengan upaya membangkitkan ekonomi industri perfilman. Namun, dia mengingatkan juga pentingnya memperhatikan keselamatan.
"Tidak ada juga gunanya ekonomi film bangkit tapi tidak bisa dinikmati pekerjanya jika nanti terpapar virus corona. Inilah hal yang menjadi perhatian PPFI," katanya.
Sementara itu, produser film Manoj Punjabi mengatakan kerugian yang diderita industri perfilman Indonesia dengan adanya pandemi Covid-19 ini sangat besar. Dia mengungkapkan rata-rata jumlah penonton bioskop per tahun itu ada sekitar 170 – 180 juta.
“Jadi misalnya 170 bagi 12 bulan atau pukul rata per bulan 14 juta penonton, maka omzetnya bisa di angka sekitar Rp 600 milliar. Nah, khusus untuk film Indonesia, sebut saja ada 5 juta penonton, berarti ada Rp 200 milliar sebulan (kerugiannya),” paparnya.