Menghidupkan Bumi Mati

Bumi lengkap dengan keindahan dan kekayaannya jauh lebih tua dari umat manusia.

wordpress
Hutan hujan tropis (Tropical Rain Forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur
Red: Nur Hasan Murtiaji

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta


Alam semesta hadir jauh sebelum manusia diciptakan. Bumi lengkap dengan keindahan dan kekayaannya jauh lebih tua dari umat manusia. Di atas bumi pernah dihuni makhluk-makhluk lain sebelum manusia.

Menurut para ilmuwan, bumi pernah dihuni oleh dinosaurus. Dalam literatur Islam, bumi pernah dihuni oleh makhluk yang dinamakan dengan Banul Jan, yang diinformasikan bahwa Banul Jan adalah makluk yang temperamental, mudah tersinggung, penuh dengan amarah, dan sering kali dalam menyelesaikan masalah dengan peperangan dan darah.

Digambarkan sebagai makhluk yang merusak bumi dan menumpahkan darah sesamanya. Mereka punah oleh dirinya sendiri, sebab peperangan yang berkepanjangan, sampai tak tersisa. Meski mereka punah, bumi seisinya tetap ada dan eksis.

Sebagian ilmuwan menemakan banyak fosil manusia purba berusia jutaan tahun yang dinamakan Meganthropus paleojavanicus yang ditemukan di pulau Jawa, yaitu di Sangiran, Trinil, Mojokerto, Ngandong, dan Sangiran. Umat manusia sudah tua. Bahkan, jika menyimak umat manusia dalam sejarah agama semitik, sejak Adam dan Hawa, lalu dilanjutkan dengan para Rasul utusan Allah, hingga Muhammad dan sampai saat ini, maka tak diragukan lagi bahwa umat manusia sudah cukup lama menjadi penghuni bumi. Manusia dinobatkan sebagai khalifahullah fi al-ardhi, wakil Tuhan di atas bumi.

Tugas mulia manusia adalah mengelola bumi dan alam semesta. Tuhan telah memberikan bumi nan indah dan mengandung kekayaan alam yang luar biasa kepada umat manusia. Kekayaan alam ini bukan untuk didiamkan begitu saja laksana barang pameran yang tak boleh disentuh atau seperti ikan di akuarium yang hanya bisa dilihat keindahannya. Akan tetapi, kekayaan alam untuk didayagunakan, diberdayakan, dan dimanfaatkan untuk kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, jika didiamkan saja, maka sama saja dengan menyia-nyiakan pemberian agung dari Tuhan.

Agar kekayaan alam itu benar-benar berdaya dan memberdayakan serta dapat dimanfaatkan umat manusia, muncul berbagai ilmu seperti ilmu pengetahuan alam, fisika, kimia, biologi, botani, dan yang lainnya. Segenap ilmu ini selanjutnya berkembang melahirkan sains dan teknologi yang dapat digunakan untuk memahami dan memberdayakan alam semesta.

Ini selaras dengan hadits Nabi, “tafakkaruu fi khalqillahi” (berpikirlah dalam persoalan makhluk Allah). Memikirkan alam semesta yang akhirnya melahirkan pengetahuan, sains, dan teknologi adalah dianjurkan oleh agama. Tentu saja berpikir yang dimaksudkan bukan hanya berhenti pada teoretis an sich, melainkan lebih jauh pada tataran tathbiq, aplikasi atas teori, sehingga menghasilkan kemanfaatan yang dirasakan umat manusia.

Di atas bumi, manusia dapat menanam padi, sayuran, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, dan berbagai pepohonan yang bermanfaat. Boleh dibilang, hampir semua pohon yang tumbuh di atas bumi adalah bermanfaat. Jika pun ada yang tidak bermanfaat secara langsung bagi manusia, melainkan bermafaat untuk makanan binatang ternak, maka itu pun hakikatnya untuk manusia, sebab binatang ternak itu dagingnya akan dikonsumsi manusia.

Manusia diberi secara cuma-cuma pepohonan nan lebat, perkasa, menjulang tinggi, dan rimbun, yang disebut dengan hutan. Manusia membutuhkan hutan. Di antara hutan yang masih ada, yaitu di Papua, Kalimantan, Alas Purwo Banyuwangi, Alas Roban Batang Jawa Tengah, Blora, dan yang lain. Akan tetapi, manusia pun butuh kemudahan dalam mobilisasi dan transportasi antarwilayah, sehingga pembangunan jalan adalah solusi yang mutlak. 

Pembangunan jalan memiliki efek positif, yaitu mudahnya distribusi barang, jasa, dan perjalanan. Syahdan, dulu sebagian masyarakat Papua harus berjalan kaki berhari-hari atau harus menggunakan pesawat helikopter yang ongkosnya tak kira-kira mahalnya atau nekat melalui jalan darat yang berlumpur sehingga berisiko bagi kendaraan dan keselamatan penumpangnya yang juga dengan ongkos mahal.

Pada era Jokowi, bisa kita lihat bersama bahwa Papua menjadi salah satu prioritas pembangunan infrastruktur untuk trans-Papua. Menurut saya, pembangunan infrastruktur jalan ini adalah positif-konstruktif bagi masyarakat Papua agar masyarakat Papua mendapatkan kemudahan dalam melakukan perjalanan dari satu wilayah ke wilayah yang lain, kemudahan dalam mendistribusikan barang dan jasa, serta ongkos yang murah.

Apakah pembangunan jalan bim salabim ada? Jika itu yang diinginkan, hanya ada di alam mimpi. Tentu saja pembangunan itu diwujudkan dengan ‘sedikit’ pengorbanan, yaitu menebang hutan secukupnya. Kalau dilakukan kajian secara komprehensif, maslahat, dan manfaat pembangunan jalan jauh lebih besar daripada membiarkan hutan.

Sebab, jalan pun bukan hanya soal distribusi barang dan jasa, melainkan juga koneksitas antarwilayah berbagai aspek, yaitu hubungan antarmanusia, kerja sama di berbagai bidang seperti pendidikan, transformasi ilmu, dan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan dan pemerataan SDM (sumber daya manusia).

Bukan sikap yang bijak sama sekali jika menolak pembangunan jalan berdalih melestarikan hutan, dan pada saat yang sama mengawetkan kesulitan, isolasi dan diskoneksi wilayah yang itu sama artinya dengan mengawetkan SDM yang dinilai memprihatinkan oleh sebagian kalangan.

Mungkin ada sebagian kalangan yang menempatkan pembangunan jalanan sebagai perbuatan perusakan hutan karena di balik itu tersimpan nalar pokoke yang diberikan pemerintah harus ditolak tanpa melihat asas manfaatnya.

Ketidakadilan semasa Orde Baru yang dialami Papua, misalkan, sejatinya dirasakan juga oleh segenap warga negara yang lain. Pahit manisnya bangsa ini dirasakan oleh seluruh rakyat. Ketika kondisi bangsa semakin membaik, tentu saja mesti disambut dengan optimisme.

Keadilan perlahan diwujudkan, seperti divestasi saham Freeport 51 Persen (10 persen untuk Papua), Otsus, dan pembangunan infratsruktuf khususnya pembangunan jalan yang masif di Papua, mestinya direspons dengan positif-optimistis, dan cara pandangnya berubah dan dinamis. Tidak adil juga jika menyikapi pemerintahaan saat ini dengan cara pandang lama. Sebab saat ini berbeda.

Di dalam perut bumi pun terkandung kekayaan alam yang luar biasa melimpah, tak terbatas. Dapat disebutkan di antaranya, yaitu air, minyak, solar, bensin, emas, pasir besi, batu bara, semen, kapur, pasir, gas, nikel, uranium, aspal, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan bahan mentah semuanya ada di perut bumi Indonesia.

Semua itu adalah pemberian dari Allah. Manusia diberi hak untuk mengelolanya dengan adil, proporsional, tidak berlebihan, dan tidak menimbulkan madharat baik bagi kehidupan manusia maupun lingkungan. Bahkan seorang ulama, Syekh Musthafa al-Ghulayaini dalam kitab ‘Idzhat an-Nasyiin menyatakan bahwa salah satu ciri seorang yang mencintai tanah airnya adalah dengan memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahatan bagi warganya, membangun pabrik dan tempat yang dapat menampung tenaga kerja agar menghilangkan pengangguran, menciptakan perdagangan, dan meningkatkan pendidikan.

Manusia adalah pewaris bumi di mana mereka dilahirkan. Kata Syekh Musthafa al-Ghulayaini, manusia sebagai khalifatullah di bumi dengan memperbaiki prilakunya di atas bumi dan mengeksplorasi kekayaan alam yang ada di dasar bumi berdasarkan asas keadilan, berbasis pengetahuan, dan kemanfaatan bagi bangsa dan rakyat secara umum.

Dalam perspektif Islam, ada konsep ihyau al-mawat, yaitu menghidupkan bumi mati, sebagai tugas manusia. Di antara bumi mati adalah hutan belantara yang tak bertuan.

Dihidupkan dengan memanfaatkannya agar bisa lebih maslahat bagi manusia, yakni bisa diambil sebagiannya untuk jalan, bisa untuk permukiman, bisa untuk perkantoran Ibu Kota baru, dan berbagai pembangunan secukupnya dan tidak berlebihan serta sisanya dilestarikan untuk go green dan penyerapan air.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler