Jokowi tak Bisa Bayangkan Jika Dulu Ambil Kebijakan Lockdown
Menurut Jokowi, ekonomi RI bisa minus 17 persen jika dulu ambil kebijakan lockdown.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Adinda Pryanka
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tidak bisa membayangkan jika dulu dirinya mengambil kebijakan lockdown sebagai cara menanggulangi penyebaran Covid-19. Menurutnya, bila pemerintah menerapkan lockdown di awal pandemi Covid-19 di Tanah Air, maka pertumbuhan ekonomi nasional bisa terjun bebas ke angka minus 17 persen.
"Saya enggak bisa bayangin kalau kita dulu lockdown gitu mungkin bisa minus 17 (persen)," jelas Presiden Jokowi di hadapan para gubernur di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (15/7), dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet.
Jokowi menyebutkan, sejak awal pemerintah ingin menjaga aspek kesehatan dan ekonomi secara seimbang. Maksudnya, meski pemerintah fokus kepada penanggulangan penularan Covid-19 dari sisi kesehatan, dampak ekonominya juga tetap dipikirkan.
Sebagai hasilnya, maka perekonomian nasional masih bisa dipertahankan agar tidak terjun bebas. Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 ambles ke level minus 4,3 persen. Sementara pada kuartal I lalu, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di angka 2,97 persen.
Presiden mengaku terus meng-update perkembangan ekonomi dunia. Dari keterangan yang didapat dari Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, didapat prediksi pertumbuhan ekonomi dunia terjun ke angka minus 2,5 persen.
Namun berselang tak lama, sebut Jokowi, Presiden Bank Dunia David Malpass justru memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan bertengger di angka minus 5 persen. Terakhir, OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) memberi prediksi bahwa pertumbuhan ekonomi global bisa minus 7,6 persen.
"Saya minta pada para Gubernur, agar rem dan gasnya ini diatur betul. Jangan sampai tidak terkendali. Enggak bisa kita ngegas yang hanya ekonominya saja enggak bisa, ya Covid-19 nya juga nanti malah naik ke mana-mana, enggak bisa. Dua-duanya ini harus betul-betul di gas dan remnya diatur betul, semuanya terkendali semuanya," jelas Jokowi.
Menurut Jokowi, pemerintah Indonesia hingga saat ini masih bisa mengendalikan laju perkembangan Covid-19. Asumsi itu didasarinya atas jumlah kasus di berbagai negara, Indonesia tak masuk dalam 10 negara dengan kasus tertinggi.
Untuk kasus tertinggi, di Amerika Serikat (AS) saat ini sudah menyentuh angka 3,4 juta kasus positif dengan jumlah penduduk 319 juta. Sedangkan di Brasil sebanyak 1,8 juta kasus positif. Total kasus di Indonesia sendiri saat ini menyentuh angka 78 ribu kasus positif.
“Negara kita ini masuk lima besar penduduk terbanyak, tetapi kalau dilihat 10 negara dengan kasus tertinggi, kita tidak masuk di dalamnya. Tadi Amerika 3,4 (juta), Brasil 1,8 (juta), India 906 ribu, Rusia 739 ribu, Peru 326 ribu. Artinya, kita berada pada posisi yang masih bisa kita kendalikan,” jelas Jokowi.
Jokowi menyebut kunci pemulihan ekonomi nasional adalah capaian kinerja pada kuartal III 2020. Menurut presiden, nasib kinerja pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal IV dan tahun 2021 nanti sangat bergantung pada seberapa kencang laju pemulihan yang terjadi di kuartal III.
"Semester kedua, terutama di kuartal ketiga, kita harus berani berbuat sesuatu untuk ini diungkit ke atas lagi. Momentumnya adalah di bulan Juli, Agustus, dan September, kuartal ketiga. Momentumnya ada di situ," ujar Jokowi.
Lantas bagaimana cara memperbaiki pertumbuhan ekonomi di kuartal III? Satu-satunya harapan bagi Indonesia adalah belanja pemerintah.
Jokowi menjelaskan, perekonomian nasional sedang sulit mengandalkan bahan bakar pertumbuhan dari investasi atau kinerja perdagangan yang memang sedang lesu. Mau tak mau, belanja pemerintah menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan.
"Semua negara hanya satu yang diharapkan yaitu belanja pemerintah, spending kita, belanja pemerintah. Oleh sebab itu, jangan sampai ada ngerem. Kalau ekonomi di provinsi Bapak-Ibu semuanya ingin cepat pulih, belanjanya semuanya harus dipercepat. Kuncinya hanya di situ," kata Jokowi.
Jokowi menilai, belanja pemerintah yang bisa digenjot mampu ikut mendorong konsumsi rumah tangga yang memang sempat anjlok pada kuartal II 2020. Pada akhirnya, daya beli masyarakat bisa ikut meningkat dan pertumbuhan ekonomi perlahan bisa pulih.
Belanja pemerintah ini tak hanya berasal dari kementerian. Namun pemerintah daerah juga punya andil besar untuk segera mempercepat belanja dari APBD. Bahkan, presiden menyebutkan bahwa uang pemerintah daerah yang masih mengendap di perbankan nasional sebesar Rp 170 triliun.
"Guedhe sekali ini. Saya sekarang cek harian. Kementerian saya cek harian, berapa realisasi, ketahuan semuanya. Kemarin saya ulang lagi, ini enggak ada peningkatan, saya baca semuanya sekarang," katanya.
Presiden pun membacakan satu per satu capaian realisasi APBD oleh seluruh pemerintah provinsi di Indonesia. DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dengan 45 persen realisasinya. Menyusul NTB dengan 44 persen, Sumatra Barat dengan 44 persen, Gorontalo dengan 43 persen, dan Kalimantan Selatan dengan 43 persen.
Realisasi APBD terendah terjadi di Sumatra Selatan dengan 16 persen, Sulawesi Tenggara dengan 16 persen, Papua dengan 17 persen, Maluku Utara dengan 17 persen, NTT dengan 21 persen, Maluku dengan 21 persen, dan Kalimantan Barat dengan 22 persen.
Asumsi Bank Dunia
Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 tumbuh pada level nol persen atau tidak mengalami pertumbuhan sama sekali dibandingkan 2019. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen mengatakan, ada tiga asumsi untuk mencapai proyeksi nol persen dan tidak jatuh ke ranah kontraksi (minus). Salah satunya, potensi gelombang kedua dan bagaimana pemerintah dapat menanganinya.
Asumsi kedua, Satu menambahkan, ekonomi global yang diprediksi berada pada level minus 5,2 persen tidak mengalami kontraksi lebih dalam. Terakhir, aktivitas ekonomi Indonesia yang diperkirakan mulai dibuka kembali pada Agustus.
"Jika ketiga asumsi yang digunakan berubah, maka forecast pun berubah," tuturnya dalam rilis virtual Laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) Juli 2020, Kamis (16/7).
Satu mengatakan, pada saat ini, Bank Dunia memproyeksikan kontraksi ekonomi 5,2 persen terhadap ekonomi global tahun ini. Angka tersebut mencerminkan resesi global terparah sejak perang dunia kedua dan hampir tiga kali lipat lebih tajam dibandingkan resesi global pada 2009.
Satu menjelaskan, dampaknya terjadi pada semua lapisan. Baik negara maju dan ekonomi berkembang ikut merasakan efeknya, terutama dengan penyusutan pertumbuhan ekonomi.
"Dan untuk tahun ini, perekonomian negara maju menyusut signifikan," katanya.
Untuk Asia dan wilayah Pasifik, Satu memproyeksikan, ekonomi akan semakin turun pada 2020 menjadi hampir minus 6 persen. Kontraksi ini tidak terlepas dari kebijakan sebagian besar negara untuk memberlakukan lockdown guna mengontrol penyebaran virus Covid-19.
Kepala Ekonom World Bank untuk Indonesia Frederico Gil Sander menyebutkan, ekonomi Indonesia mungkin saja dapat tumbuh di level minus 2 persen. Ini terjadi apabila pembatasan pergerakan kembali diberlakukan dengan lebih ketat.
Frederico menambahkan, ekonomi Indonesia akan pulih pada 2021 dan 2022 dengan estimasi pertumbuhan masing-masing 4,8 persen dan enam persen. "Tapi, lajunya akan dirasakan sangat perlahan," ujarnya.