AS dan China Memanas di LCS, Bagaimana Sikap Indonesia?

AS menolak klaim China atas Laut China Selatan

Wikipedia
Peta klaim Laut Cina Selatan
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah perjuangan semua negara dalam melawan pandemi Covid-19, hubungan antara dua negara adikuasa, Amerika Serikat dan China kembali memanas terkait Laut China Selatan (LCS) yang diyakini memiliki sumber daya alam melimpah.

Baca Juga


Amerika Serikat pada Senin (13/7) menolak klaim sengketa China untuk sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan. Pasalnya, China tidak memberikan dasar hukum yang koheren untuk ambisinya di Laut China Selatan.

Melansir Reuters, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan selama bertahun-tahun China telah menggunakan intimidasi terhadap negara-negara pantai Asia Tenggara lainnya.

AS telah lama menentang klaim teritorial China yang luas di Laut China Selatan dengan mengirimkan kapal perang secara teratur melalui jalur laut strategis itu untuk menunjukkan kebebasan navigasi di sana. Klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan benar-benar melanggar hukum.

Komentar Pompeo itu mencerminkan nada yang lebih keras atas klaim China atas jalur laut yang bernilai sekitar 5 triliun dolar AS dari lalu lintas barang yang dikirimkan setiap tahun. Tuduhan AS tersebut membuat China mengeluarkan pernyataan keras.

China tegas menentang pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo yang menolak klaim China yang dipersengketakan di Laut China Selatan. Beijing menyebut tuduhan Washington terhadap China yang mengintimidasi tetangganya "sama sekali tidak dapat dibenarkan." Dengan dalih menjaga stabilitas, (AS) membangkitkan ketegangan dan memicu konfrontasi di kawasan itu, menurut pernyataan Kedutaan Besar China di Amerika Serikat.

Amerika Serikat bukan negara yang terlibat langsung dalam perselisihan. Namun, Amerika Serikat terus mencampuri masalah ini, ujar pernyataan itu.

Sementara itu, Pakar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Teuku Rezasyah mengatakan perkembangan di Laut China Selatan (LCS) telah berada pada situasi yang sangat mengkhawatirkan dan mengganggu terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional. Setiap harinya masyarakat internasional dikuatirkan dengan berbagai potensi perang.

Kegiatan paling menonjol adalah meluasnya kegiatan militer Republik Rakyat China (RRC) disekitar wilayah yang dipersengketakan, mulai dari gelar pasukan hingga latihan militer terbatas. Pada saat yang sama, kehadiran beberapa kapal induk Amerika Serikat di perairan internasional yang mendekati wilayah yang dipersengketakan tersebut, sangat menggusarkan China.

Akibatnya, lanjut Teuku Rezasyah, sudah terjadi saling ancam antara AS dan RRC, seperti serangan peluru kendali RRC atas kapal induk AS. Selanjutnya, potensi konflik yang menguat ini mulai melibatkan kemitraan perang antara AS dengan para sekutunya seperti Australia, Jepang, dan Taiwan dalam menghadapi arogansi RRC.

Memburuknya keadaan itu mengancam terpeliharanya hukum internasional, lalu-layar perdagangan internasional, solidaritas ASEAN, dan kemandirian Republik Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki tuntutan wilayah di Laut China Selatan ini. Dari sudut pandang Donald Trump, ujar Teuku Rezasyah, krisis di Laut China Selatan ini sangat menantang kepemimpinan global AS sebagai negara maritim, yang mengharamkan munculnya China sebagai pesaing global.

Donald Trump cenderung mengawinkan momentum Pilpres bulan November 2020 dengan krisis di Laut China Selatan guna meningkatkan kredibilitasnya di dalam dan luar negeri, agar terpilih kembali sebagai Presiden. Sebaliknya, RRC sudah berada pada posisi angkuh, mengingat keberhasilannya menangani Covid-19, kerontokan ekonomi negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan ASEAN, yang selama ini mengkritisi kepemilikan lahan RRC di Laut China Selatan.

RRC semakin percaya diri, mengingat meningkatnya kredibilitas RRC pasca-pembangunan Belt and Road Initiative (BRI) dan investasi langsungnya di Asia dan Afrika. Konflik di Laut China Selatan ini diperkirakan hanya sebatas saling mengancam secara militer, pemberian sanksi ekonomi, dan tekanan politik. Karena para pelakunya, dalam hal ini RRC dan AS berikut sekutunya, juga mengkhawatirkan dampak global dari krisis ini.

Menurutnya, walaupun tidak akan terjadi konflik terbatas antara RRC melawan AS beserta sekutu-sekutunya, kemungkinan besar yang terjadi adalah Perang Dingin Terbatas di Laut China Selatan. Contohnya adalah saling kecam dan saling memainkan aturan hukum internasional, berikut kampanye global yang saling menyudutkan.

"Akan terjadi juga pacu senjata, berupa pembelian senjata secara besar-besaran di kalangan sekutu-sekutu AS, yang disertai latihan militer dalam skala rendah," kata dia.

Secara sistematis RRC akan melakukan pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) melalui pembiaran nelayan asal berbagai provinsi di RRC untuk bergerak diam-diam, namun dituntun secara elektronik oleh kapal perang dan kapal riset maritim. Berlangsungnya keadaan itu, akan mempersulit ASEAN, dan terutama sekali Indonesia, karena akan terus tertundanya pembuatan Code of Conduct (CoC) antara RRC dan ASEAN.

Sementara itu, berbekal kepemimpinan ekonomi dan investasi, RRC cenderung terus berusaha memecah belah ASEAN secara ekonomi, politik, dan militer. Akumulasi keadaan di atas akan memperburuk ketahanan nasional RI, sehingga mau tidak mau pemerintah RI berkewajiban menjadikan Laut Natuna Utara sebagai wilayah yang harus dipertahankan demi keutuhan NKRI, ujar Teuku Rezasyah.

Sikap Indonesia

Teuku Rezasya mengatakan Pemerintah Indonesia hendaknya secara terus menerus menyatakan kemandirian dirinya yang tidak merupakan bagian dari konflik di Laut China Selatan. Sebagai pendiri Gerakan Non-Blok (GNB), menganut politik luar negeri bebas aktif yang siap berperan serta merajut perdamaian dan ketertiban dunia, serta memiliki otoritas mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah.

Guna membuktikan ketegasan di atas, sudah pada tempatnyalah jika TNI melakukan latihan gabungan di Laut Natuna Utara dan Pulau Natuna, serta melibatkan otoritas sipil seperti Polri, Pemerintah Provinsi, dan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla). Pemerintah juga berkewajiban meningkatkan kinerja personil dan alutsista di pangkalan TNI AU dan TNI AL di Pulau Natuna agar semakin terintegrasi dengan seluruh kekuatan tempur TNI diseluruh wilayah nasional.

Menurutnya, tidak ada salahnya bagi pemerintah RI menyelenggarakan riset maritim dan latihan SAR dengan negara-negara sahabat yang sudah memiliki perjanjian khusus di bidang pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan dengan RI. Selain itu, pemerintah berkewajiban untuk terus memonitor status hukum dari Laut Natuna Utara di PBB, serta menyiapkan seluruh sarana dan prasarana agar Laut Natuna Utara menjadi basis baru bagi Geostrategik, Geopolitik, dan Geoekonomi RI.

Sebagai langkah awalnya, kata Teuku Rezasyah, diperlukan kampanye global guna menyiapkan pembangunan Geopark di Natuna dan kepulauan di sekitarnya, yang terhubung dengan baik dengan berbagai pelabuhan udara dan pelabuhan laut di ASEAN. Atas tujuan itu, sudah pada tempatnyalah jika RI mengundang Jepang dan Korea Selatan untuk turut membangun infrastruktur berbasis 5G, dengan RI melonggarkan aturan alih teknologi dan manajemen dari kedua negara tersebut.

Pemerintah RI juga hendaknya mampu bermain aktif dalam berbagai kampanye wisata dan investasi internasional di banyak media cetak dan elektronik sekaligus. Untuk itu, diperlukan kerja sama dengan industri perfilman dan media massa internasional, guna mendokumentasikan potensi pariwisata dan maritim di Pulau Natuna dan Laut Natuna Utara.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler