Menlu Retno: Penundaan Aneksasi Israel Buah Tekanan Dunia
Menlu Retno mengingatkan dunia harus bersatu mewujudkan solusi dua negara
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan bahwa penundaan pencaplokan wilayah secara ilegal (aneksasi) oleh Israel terhadap Palestina merupakan hasil dari tekanan yang diberikan oleh masyarakat internasional.
"Saya yakin penundaan ini terjadi karena adanya pressure internasional terhadap Israel, oleh karena itu... dunia harus bersatu untuk mewujudkan konsep two-state solution," kata Retno dalam seminar virtual internasional yang digelar oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Kamis (16/7).
Rencana aneksasi Israel mencuat pada akhir Juni sebagai bagian dari Kesepakatan Abad Ini yang diusulkan oleh pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump untuk perjanjian damai dalam konflik Israel-Palestina. Palestina, yang sedari awal menolak usulan perdamaian Trump, dengan keras mengecam rencana tersebut. Masyarakat dunia juga mengutuk langkah Israel yang dianggap akan menimbulkan preseden buruk dalam tatanan global.
Israel sempat berencana memulai langkah aneksasi pada 1 Juli, namun rencana tidak terwujud. Sejumlah hal lain yang menyebabkan penundaan, misalnya, sikap AS yang belum jelas terhadap negara sekutunya itu serta krisis pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi dunia, tidak terkecuali Israel.
Walaupun terjadi penundaan aneksasi secara formal, kata Retno, masyarakat Palestina selama ini sudah berada di bawah kondisi aneksasi secara de facto. Pada Desember 2017, AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sehingga Mei 2018, negara itu memindahkan Kedutaan Besar untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Kemudian Maret 2019, Trump mengakui Daratan Tinggi Golan sebagai milik Israel yang diperoleh melalui aneksasi wilayah milik Suriah itu pada 1981. Menurut Retno, usai penundaan aneksasi dari target 1 Juli, masyarakat internasional, termasuk Indonesia, masih harus berupaya menghentikan rencana Israel yang mana "opsinya hanya satu, yaitu terus menunjukkan kesatuan untuk menunjukkan penolakan secara kolektif."
"Yang diperlukan saat ini adalah kemauan politis masyarakat internasional untuk menjalankan semua resolusi PBB dan parameter internasional secara konsisten. Ini yang akan Indonesia terus lakukan ke depan bersama masyarakat internasional," ujar Retno menambahkan.