Sayuran dan Rempah Indonesia di Jepang Dinilai Mahal
Pasar Jepang tetap menekankan kualitas produk yang bagus sebelum harga.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayuran dan rempah dari Indonesia dinilai masih lebih mahal di pasar Jepang dibandingkan produk serupa dari negara-negara Asean lainnya. Meskipun, pasar Jepang tetap menekankan kualitas sebelum harga.
Presiden Nanyang Trading Co, Katsunari Kasugai, mengatakan, terdapat dua masalah yang ia hadapi dalam mengimpor produk hortikultura. Yakni soal kualitas dan harga.
Menurut Kasugai, dibutuhkan stabilitas kualitas dan kuantitas produk dari Indonesia. Selain itu, harga juga perlu dijaga. Ia mengakui harga sayuran dan rempah beku dari Indonesia masih lebih mahal dibandingkan Vietnam, Thailand, dan Filipina.
"Tapi, kami bukan tekankan harga murah melainkan kualitas yang bagus," kata dia dalam Japan-Indonesia Market Access Workshop yang digelar secara virtual, Selasa (21/7).
Kasugai mengatakan, perusahaan importir yang ia pimpin lebih fokus untuk pasar konsumen masyarakat Indonesia dan Malaysia di Jepang yang membutuhkan makanan halal. Salah satu produk unggulan yang diimpor yakni makanan jadi berupa mi instan, bumbu-bumbuan, kecap manis, sambal, jus, dan teh.
"Produk Indonesia yang diimpor ke Jepang hampir 90 persen, sisanya diisi oleh Malaysia," kata Kasugai.
Pimpinan Yogi Tsusho Co Ltd, Hiroo Tokoro mengatakan, soal harga dan kualitas, produk hortikultura Indonesia harus lebih bersaing dari China. Hal itu juga tak perlu diperdebatkan karena menjadi kewajiban para kompetitor.
Terlebih, perusahaan Jepang cenderung berhati-hati terhadap sebuah produk baru. Dibutukan waktu lama antara setengah hingga satu tahun untuk memeriksa kualitas dan saling konfirmasi. Tokoro mengatakan, spesifikasi produk dan profil perusahaan saja tidak cukup untuk bisa menerima produk baru.
Banyak perusahaan jepang yang awal mulanya mengunjungi lokasi pabrik sebelum bertransaksi. "Mereka tidak akan langsung menyetujui hanya karena eksportir punya berbagai sertifikasi seperti ISO, HACCP, dan sebagainya. Kualitas sering kali lebih ketat daripada negara lain. Jadi tidak perlu dijawab dengan keyakinan, tapi harus diurai," kata dia.