Kisah Kraton Mataram Setelah Kekalahan Diponegoro
Kisah Kesultanan Mataram Jogja Usai Kekalahan DIponegoro
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Akhmad Khoirul Fahmi, Pemerhati Sejarah Pasca Diponegoro
Setelah kekalahan Diponegoro, Kraton Mataram Jogja tak ubahnya hanya pemerintahan simbolik. De-facto pemerintahan diatur dan dikendalikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sekalipun demikian, fungsi raja dan keraton tetaplah penting dalam menjaga hubungan stabilitas dalam peran politik penjajahan dengan sistem inderect rule.
Untuk hal ini dalam setiap penobatan raja di Kesultanan Jogja, kontrak politik yang menguntungkan pemerintahan Belanda akan dipaksakan.
Namun, Belanda salah kira ketika yang tampil raja muda keluar dari kuliahan. Itulah Raden Mas Dorodjatun yang kemudian lebih dikenal Sinuwun atau Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono IX.
Gubernur Yogyakarta Dr. L Adam, Dibuat pusing tujuh keliling. Politisi Belanda berpengalaman--ahli adat istiadat Jawa-- ini harus berdebat secara maraton berbulan-bulan ketika merumuskan kontrak penobatan Sultan baru. Perundingan sempat mengalami kebuntuan. Pokok buntunya perundingan mengenai tiga hal pokok: (1) Jabatan Patih (Pepatih Dalem), (2) Dewan Penasehat, dan (3) Prajurit Keraton. Akibatnya, kedua belah pihak, setelah perundingan berbulan-bulan menyebabkan keadaan fisik dan mentalnya sangat letih. Demikian pula bagi Dorodjatun.
Sekalipun akhirnya menuruti Ia kemauan Dr Adam, sejarah mencatat perubahan pendirian itu disebabkan atas “Wisik” atau petunjuk bisikan gaib yang diterima calon raja itu pada suatu sore hari menjelang petang, ketika diantara kondisi tidur dan bangun. “Tole, tekene wae, Landa bakal lunga saka bumi kene”.
intinya sekalipun ia dididik dalam disiplin rasional ala Belanda sejak kecil, ia tetaplah orang Jawa yang kemudian dalam situasi tertentu lebih mempercayai sugesti semacam wangsit, saat ia mengalami kondisi terjaga dan tidur setelah berbulan-bulan mempraktekkan seluruh hasil pendidikan dan pengalamannya di Belanda menghadapi Gubernur Dr. Adam.
Perundingan tersebut berlangsung sejak November 1939 hingga Februari 1940. Setelah GRM Doradjatun mau menyetujui draft kontrak politik Belanda atas Kesultanan Jogjakarta, baru pada 18 Maret 1940 dinobatkan sebagai putra mahkota (Adipati Anom) dan kemudian dilantik menjadi Sultan Hamengkubowon IX menggantikan ayahnya.
Kontrak politik tersebut dianggap yang terpanjang yang pernah dibuat oleh Pemerintahan Hindia Belanda dengan Raja Mataram terdiri atas 17 bab berisi 59 pasal, dibuat dalam bahasa Belanda dengan bahasa dan aksara Jawa di halaman sampingnya. Anehnya, berdasar penuturan HB IX, kontrak politik itu tidak pernah dibaca olehnya. Demikian berjudul Tahta Untuk Rakyat merekam jejak perjuangan Sri Sultan Hamengkubowo IX.
Proses pergantian kekuasaan di keraton sekilas biasa saja. Akan tetapi ditengah suasana perubahan politik yang cepat pada tahun tahun tersebut, tentu dibutuhkan seorang calon pemimpin yang akan mewakili zamannya.
Sejak lama Keraton di Jawa, jikalau sang calon raja tidak mau mengikuti kemauan kaum penjajah (Belanda dan Inggris), maka dengan mudah mereka akan mencari sosok lain yang mau didikte untuk kepentingan kolonial. Hal yang sering dilakukan adalah membuat politik pecah belah diantara anggota keluarga keraton, dan ataupun dengan memanfaatkan kalangan pejabat keraton terutama patih.
Hal ini terjadi sejak Pakubowon II yang kemudian menyusul pembelahan Mataram menjadi tiga Keraton, Sultan HB II era Daendels dan Rafless hingga HB III dan HB IV. Saat itu Diponegoro sesungguhnya sebagai anak tertua HB III punya kesempatan menduduki tahta. Namun Diponegoro memilih tidak bisa berkompromi dengan lebih bersikap sikap anti penjajah dan mengobarkan perlawanan bersenjata untuk mengusir Belanda dari bumi Jawa.
Untuk hal inilah sebelum memulai perundingan dengan Dr Adam, langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan semua kerabatan keraton, terutama para putra HB VII dan HB VIII. Secara langsung Ia menanyakan kepada mereka, siapa di antara mereka yang mempunyai keinginan untuk menjadi Sultan HB IX? Dalam pertemuan itu secara spontan dan kompak ada kesepakatan dan penegasan bahwa diantara mereka tak ada yang ingin menjadi HB IX.
Hal itu dilakukan Dorodjatun sekalipun belum diangkat sebagai putra mahkota. Secara simbolik Ia menerima keris Kyai Jaka Piturun dari ayahnya di Hotel Des Indes. Beberapa hari kemudian HB VIII mangkat. Gubernur Dr Adam mengambil alih kekuasaan keraton Jogjakarta sambil menunggu diangkatnya sultan baru. Gubernur Jogjakarta ini mengangkat suatu kepanitiaan untuk mengurus pemerintahan keraton yang berjumlah lima orang, diketuai Doradjatun.
Gubernur Dr Adam mungkin salah mengira, “anak kuliahan” yang diangkat menjadi calon raja ini akan gampang ditundukan. Sebagaimana pengalaman terhadap berbagai suksesi keraton Jawa di masa lalu jika menghadapi kondisi tidak normal. Namun, Doradjatun yang sejak kecil sudah dititipkan pada keluarga Belanda dan kemudian bersekolah di negeri Belanda, betul-betul menguasai bahasa Belanda dalam perundingan dan juga mampu menyelami akal berfikir bangsa Belanda saat itu—Dr Adam..
Cara-cara pecah pelah sempat diupayakan Belanda untuk menggoyahkan pendirian Dorodjatun dalam perundingan. Pepatih Dalem KPAA Danurejo diminta Belanda untuk membujuk sang calon raja yang keras kepala ini. Pangeran yang sudah berumur ini mendesak Dorodjatun karena perundingan sudah terlalu lama. Untuk hal ini, ia menjawab, “Kalau Paman yang hendak menjadi Sultan, silakan.”.
Bisikan ghaib di sore hari itu, mengakhiri perdebatan maraton berbulan-bulan. Pertemuan berikutnya yang dijadwal dengan Dr Adam hanya berlangsung sepuluh menit. “Silakan Gubernur menyusun kontrak politik itu. Nanti saya tandatangani!”. Tidak ada diskusi, tidak lagi perdebatan. Betapa heran Gubernur Adam saat itu. mengapa calon raja ini tiba-tiba berubah?
Dalam pengakuan selanjutnya, Sultan HB IX bercerita, andaikata perundingan dengan Gubernur Yogyakarta tetap mengalami jalan buntu, biasanya Belanda akan bertindak “nakal”. Calon raja akan dicap sebagai pemberontak dan biasanya dibuang. Atau memperalat salah satu anggota keluarga keraton yang akan dijadikan sultan.
Wallahu ‘alam Bishawab
----------
Sumber: Buku Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan Hamengkubowono IX, Atmakusumah (Penyunting), Kompas Gramedia, Jakarta, 2002..