Klaster Perkantoran dan Dilema Beban Ekonomi Perusahaan
Perusahaan tidak sanggup cegah klaster perkantoran sendirian.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Rizkyan Adiyudha, Ali Mansur, Antara
Pascapembukaan kembali aktivitas perekonomian, perkantoran menjadi salah satu tempat yang kembali ramai. Aktivitas menuju dan pulang ke kantor ikut hidup kembali setelah PSBB dilonggarkan di Ibu Kota.
Namun, efeknya adalah muncul klaster perkantoran Covid-19. Jumlahnya juga tidak bisa dibilang sedikit untuk tidak menjadi kewaspadaan.
Satgas Penanganan Covid-19 menemukan hingga 28 Juli 2020 terdapat 90 klaster perkantoran di DKI Jakarta. Total kasus dari 90 perkantoran tersebut adalah 459 orang yang positif Covid-19.
Salah satu upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 adalah dengan melakukan rapid test. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta menyatakan tes masal Covid-19, baik itu tes cepat (rapid test) maupun PCR di perkantoran, menjadi tanggung jawab dari perusahaan-perusahaan itu sendiri. Pemprov tidak menyiapkan anggaran untuk itu.
"Disnaker tidak mempunyai anggaran untuk melakukan tes masif terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, tidak ada, karenanya dalam melakukan tes cepat terhadap semua pekerja itu dibiayai oleh perusahaan itu sendiri," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, Andri Yansah kepada pewarta di Jakarta, Rabu (29/7). Pemprov tapi akan memfasilitasi jika ada perusahaan yang tidak mampu namun membutuhkan tes massal.
Perusahaan yang ketahuan melanggar ketentuan kapasitas 50 persen tapi diminta untuk menanggung sendiri tes pemeriksaan tersebut karena perusahaan itu dikategorikan ke dalam perusahaan yang mampu akibat melanggar ketentuan protokol kapasitas 50 persen tersebut. "Supaya tidak terjadi seperti itu, lebih baik disiplin dan taat pada ketentuan," ujarnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memandang tes massal memberatkan perusahaan, apalagi di tengah ekonomi yang sedang anjlok seperti saat ini. "Jangan kembalikan itu sebagai kewajiban perusahaan, ini sekarang kan lagi abnormal, di mana semua perusahaan berpikiran dua, diteruskan atau ditutup," ujar Ketua Industri Manufaktur APINDO Johnny Darmawan kepada Republika.co.id, Kamis (30/7).
Johnny menjelaskan, saat ini perusahaan yang mampu melakukan rapid test secara berkala adalah perusahaan multinasional. Sementara perusahaan-perusahaan nasional atau kecil, dengan kondisi ekonomi sekarang ini tidak mungkin sanggup membiayai satu kali rapid test seribu karyawan.
Untuk membuka kembali aktivitas ekonomi, meskipun baru sebagian kecil, tetap diperlukan adanya protokol kesehatan. Selain protokol Covid-19, kata Johnny, perusahaan-perusahaan besar telah melakukan berbagai kebijakan pencegahan di antaranya untuk tidak masuk bekerja bagi karyawan yang sakit atau tinggal di daerah zona merah.
Kemudian apabila tinggal di daerah zona merah dan diperlukan masuk kerja, harus melakukan rapid test terlebih dahulu. "Perusahaan-perusahaan besar sudah melakukan ini. Mereka punya poliklinik dan biasanya melakukan rapid test sendiri," kata Johnny.
Namun, hal itu tidak bisa diharapkan dari perusahaan-perusahaan nasional berukuran medium hingga kecil. Bahkan ia menilai saat ini memang perusahaan-perusahaan tersebut yang banyak karyawannya tertular Covid-19 akibat tidak disiplin, di tengah upaya tetap membuka aktivitas ekonomi.
Untuk itu, Johnny menegaskan agar pemerintah memahami kondisi keuangan perusahaan-perusahaan tersebut. "Perusahaan nasional kan tidak selalu kaya, jadi menurut saya kita harus duduk sama-sama (dengan pemerintah). Karena ini kan buat kepentingan negara juga," katanya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengimbau agar pemerintah lebih transparan terkait kebijakan penanganan penyebaran wabah virus SARS-CoV-2 alias Covid-19. Menurutnya, kebijakan pemerintah saat ini tidak terbuka dan cenderung menutup diri.
"Pemerintah kebijakannya tidak terarah dan banyak pimpinan perkantoran di Jakarta yang menutup diri dan tidak transparan," kata Trubus Rahadiansyah di Jakarta, Kamis (30/7).
Dia mengatakan, pemerintah juga seharusnya perlu lebih mengarahkan publik supaya pandemi Covid dapat terkendali sehingga dapat memutus rantai penularan. "Caranya bagaimana? Ya, pemerintah dan kantor harusnya koordinasi dan kolaborasi dengan memberikan informasi data dan fakta," katanya.
Menurutnya, keterbukaan instansi perkantoran juga dibutuhkan guna memutus rantai penularan yang ada. Dia berpendapat saat ini tidak semua perkantoran transparan dan terbuka terkait penularan Covid-19 di lingkungan kerja mereka.
Di saat yang bersamaan, dia juga meminta para karyawan terbuka diri terkait kondisi kesehatan mereka. Dia mengimbau agar para pekerja tidak perlu takut akan pemecatan atau dirumahkan jika berada dalam kondisi tubuh yang tidak maksimal.
"Jadi kenapa karyawan tidak mau lapor kalau dia Covid, mungkin yang terbayang dibenaknya adalah keresahan kalau nanti mereka di PHK," katanya.
Perkantoran di ibu kota bisa membentuk semacam satuan tugas sesuai dengan surat keputusan Disnaker DKI Jakarta. Setiap instansi, sambung dia, juga perlu menegakkan semua protokol kesehatan di gedung perkantoran yang telah ditetapkan pemerintah.
Tak hanya perkantoran yang didorong tertib, Disnaker juga harus mengetatkan pengawasan di gedung-gedung perkantoran. Dia menilai kalau pengawasan yang dilakukan Disnaker DKI saat ini masih terlalu lemah karena hanya berpaku pada tataran kebijakan dan bukan implementasi.
Dia mengatakan, pengawasan yang bersifat penerapan itu perlu langsung diterapkan di lapangan. Lanjutnya, hal itu dapat dilakukan dengan berkordinasi bersama Satgas Covid-19 yang berada di perkantoran untuk memastikan terlaksananya protokol kesehatan di kantor masing-masing beserta pengawasannya.
"Saya imbau juga kantor-kantor ini jangan menutupi, karena banyak kantor yang menutupi tidak mau membuka diri terutama swasta itu tidak mau membuka diri kalau karyawannya terpapar Covid," katanya.
Protokol ketat memang seharusnya jadi acuan ketika PSBB dihentikan. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani, mengatakan pembukaan sejumlah perkantoran, perusahaan, dan sekolah pascawacana new normal seharusnya diikuti dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Sarana dan prasarana yang mendukung pemberlakuan kebiasaan baru, seperti masker, hand sanitizer serta media komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) harus tersedia dan mudah didapatkan oleh masyarakat.
Selain itu, kata Netty, pemerintah dan perusahaan hendaknya membantu atau memberikan subsidi pembiayaan bahkan menggratiskan rapid test bagi para pekerja yang tidak mampu. Ia mengingatkan agar munculnya klaster perkantoran ini ditanggapi serius.
“Karyawan yang berhubungan dengan pasien positif harus benar-benar ditelusuri dan dipastikan aktivitasnya agar tidak terjadi transmisi ke orang lain,” tegas Netty.
Dalam keterangannya, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, meminta setiap perusahaan menyiapkan petugas Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3 Covid-19. Itu dibutuhkan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19 di tempat kerja.
"Kita minta ada petugas K3 Covid-19 di setiap perusahaan dan perkantoran yang bertugas secara khusus untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran Covid-19 di tempat kerja," dalam keterangannya, Rabu (29/7).
Ida juga mengingatkan agar protokol kesehatan dapat diimplementasikan dengan baik. Para pengusaha dan pekerja harus semaksimal mungkin menerapkan pola hidup bersih dan sehat dengan menjadikannya sebagai sebuah budaya hidup. Protokol kesehatan bukan sekedar kewajiban pengusaha kepada pekerja ataupun sebaliknya.
"Jangan bawa masker karena takut dihukum denda. Harus jadi addict, bawa masker harus dijadikan sebuah ketagihan. Mari menyayangi diri sendiri dan menyayangi orang lain dengan menjaga diri agar penyebaran Covid-19 tak terjadi," tegas Ida.
Tidak hanya itu, Ida juga mendorong para pengusaha untuk menerapkan Gerakan Pekerja Sehat di lingkungan perusahaannya. Gerakan ini bertujuan untuk membantu pekerja atau buruh beradaptasi dengan kebiasaan baru. Sehingga mampu mewujudkan dunia industri yang produktif dan aman dari Covid-19.