Legislator Pesimistis Netralitas ASN Terwujud di Pilkada
ASN harus netral saat pilkada karena mereka merupakan mesin utama birokrasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI Johan Budi pesimistis Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat menjaga netralitasnya selama pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 berlangsung. Padahal, ASN yang menjaga netralitasnya dapat mewujudkan tatanan pemerintahan yang baik atau good governance.
"Tetapi apakah ini bisa dicapai? Saya kok pesimis ya. Memang ada ASN yang benar-benar netral, tapi juga ada ASN yang karena interes tertentu karena dukungan tertentu kepada salah satu calon," ujar mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, dalam kampanye virtual Gerakan Nasional Netralitas ASN, Rabu (5/8).
Ia mengkhawatirkan, ASN yang bisa menggunakan jabatannya untuk mendukung calon kepala daerah berkompetisi di pilkada. Ia mengingatkan agar pejabat tak memanfaatkan bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk kepentingan kampanye calon kepala daerah.
Menurut Johan, tidak ada ASN yang netral dalam konteks pilihan pribadi masing-masing. Walaupun netralitas ASN diatur dalam undang-undang (UU), salah satunya, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang juga mengatur penjatuhan sanksi apabila mereka melanggarnya.
Ia menjelaskan, ASN harus netral saat pemilihan umum termasuk pilkada karena mereka merupakan mesin utama birokrasi. Mereka mempunyai tanggung jawab membangun iklim demokrasi yang sehat sehingga tidak berlarut-larut atau menyeret tugas dan kewenangannya ke dalam ranah politik praktis.
Dengan demikian, saat ASN menjalankan fungsinya baik di pemerintah daerah (pemda) maupun kementerian/lembaga pemerintah pusat, seharusnya menjadi birokrasi yang netral. Johan pun menyoroti pengawasan pelaksanaan tugas ASN agar tetap netral saat pilkada berlangsung.
"Ada beberapa poin dalam kaitan dengan mengawasi atau menjaga ASN tetap netral. Karena sekali lagi dalam kacamata yang saya pahami sulit sekali ASN ini untuk bersikap netral," kata Johan.
Pengawasan terhadap kinerja ASN ada peran Komisi ASN (KASN). Terkait netralitas ASN dalam pilkada juga diawasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama sentra penegakan hukuk terpadu (Gakkumdu).
Namun, Johan menilai, sulit untuk mengawasi ASN tetap netral ketika para ASN itu memiliki jabatan tertentu. Ia mengaku tidak pernah mendengar upaya secara masif penegakam hukum terkait pelanggaran netralitas ASN.
"Saya belum pernah baca atau saya terlewat ya yang secara besar penegakan hukum terkait dengan ketidaknetralan ASN ini. Apakah sedikit ASN yang tidak netral? Saya kira banyak ya meskipun secara terselubung dia menggunakan jabatan atau menggunakan kewenangan dia di dalam kaitan dengan ikut membantu salah satu calon," tutur Johan.
Menurut dia, alasan ASN sulit berbuat netral karena mereka merasa harus membalas budi kepada kepala daerah yang ikut mencalonkan diri kembali di pilkada. Selain itu, ASN juga takut kehilangan jabatannya jika tidak mendukung pejawat kepala daerah tersebut.
Johan mengatakan, mereka yang bersikap netral justru diganjar pemecatan oleh pimpinannya. Apalagi kalau posisi atau jabatan yang mereka emban sangat erat terkait dengan kebijakan-kebijakan yg dilakukan oleh bupati, wali kota, atau gubernur. Sehingga sulit sekali untuk ASN ini netral.
"Setiap ASN punya kecenderungan kepada salah satu calon. Ini juga bisa membawa sikap yang bersangkutan dalam konteks menjalankan tugasnya, meskipun tidak secara terang-terangan," lanjut Johan.