AS Dilaporkan Tekan Inggris Dukung Perpanjang Sanksi Iran
Presiden AS Donald Trump ingin memperpanjang semua sanksi terhadap Iran
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) tekan Inggris untuk mendukung perpanjangan sanksi terhadap Iran. Dilansir dari media Rusia, Sputnik, surat kabar Inggris the Times melaporkan Washington meminta kejelasan posisi Perdana Menteri Boris Johnson mengenai sanksi-sanksi pada Iran.
"Pertanyaan utamanya adalah apakah Inggris membiarkan atau tidak negara pendukung terorisme membeli dan menjual senjata, pemerintah kami berulang kali menyatakan Amerika Serikat tidak akan pernah membiarkan itu terjadi," kata utusan AS untuk PBB Kelly Craft pada the Times, Jumat (21/8).
Dalam merespons pernyataan tersebut juru bicara pemerintah Inggris mengatakan London 'berbagi keprihatinan dengan AS mengenai proliferasi Iran dan dampaknya pada keamanan regional'. Presiden AS Donald Trump mengatakan ia sudah meminta Menteri Luar Negeri Mike Pompeo untuk mengirimkan notifikasi ke Dewan Keamanan PBB.
Trump ingin memperpanjang semua sanksi terhadap Iran. Dalam pernyataannya Departemen Luar Negeri AS mengatakan Pompeo berada di PBB pada Kamis (20/8) dan Jumat (21/8). Pada 1984, Iran dinyatakan sebagai negara pendukung terorisme.
AS telah mengumumkan mereka akan menggunakan mekanisme yang disebut 'snapbacks' untuk memberlakukan kembali semua sanksi PBB terhadap Iran. Sebelumnya kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) mencabut sanksi-sanksi tersebut.
Sanksi yang melarang Iran jual-beli senjata akan berakhir pada Oktober. Prosedur snapback yang ingin digunakan AS tertulis dalam Resolusi PBB 2231. Resolusi itu mendorong kesepakatan nuklir dan menetapkan bila salah satu penandatangan menemukan pihak lain tidak berkomitmen penuh, mka Dewan Keamanan PBB akan menggelar pemungutan suara untuk menentukan apakah melanjutkan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Dalam JCPOA semua sanksi-sanksi Iran sebelumnya akan diberlakukan kembali bila Amerika Serikat (AS) memveto resolusi itu. Namun, sejak 8 Mei 2018 Trump sudah menarik AS dari kesepakatan tersebut.