Terungkap, Penembak Masjid Christchurch Ingin Bakar Masjid

Selandia Baru menggelar sidang vonis penembak masjid Christchurch.

John Kirk-Anderson/Pool Photo via AP
Terungkap, Penembak Masjid Christchurch Ingin Bakar Masjid. Maysoon Salama, ibu dari korban penembakan masjid Christchurch, berbicara ke pelaku penembakan Brenton Tarrant di pengadilan, Senin (24/8). Pengadilan Tinggi Christchurch kembali menyidang Tarrant atas tuduhan 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu aksi terorisme. Lebih dari 60 penyintas dan keluarga korban bertemu dengan pelaku pembantaian paling kejam di sejarah Selandia Baru.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Pengadilan di Selandia Baru untuk pertama kalinya telah mendengar laporan resmi tentang bagaimana seorang teroris yang menyerang dua masjid di Christchurch merencanakan dan melaksanakan aksinya. Insiden penyerangan masjid pada 2019 itu telah menewaskan 51 orang.

Baca Juga


Pelaku dikatakan berniat membakar kedua tempat ibadah tersebut dan menyerang masjid ketiga. Perincian serangan itu dibacakan di awal sidang vonis dengan pengamanan ketat. Sidang berlangsung di gedung pengadilan di Christchurch. Sesi pertama dimulai pada Senin (24/8) pagi waktu setempat.

Sidang akan memutuskan apakah pria asal Australia yang telah mengaku melakukan penembakan massal itu akan meninggalkan penjara. Mereka yang berduka dalam aksi pembantaian terburuk di Selandia Baru, dan mereka yang selamat (para penyintas), akan berhadapan dengan sang pelaku bersenjata bernama Brenton Tarrant di pengadilan untuk pertama kalinya.

Sebelumnya, seluruh tampilan pengadilan sejak serangan teroris pada 15 Maret 2019 dilakukan melalui tautan video dari penjara. Tarrant merupakan seseorang yang mengaku sebagai supremasi kulit putih yang menyiarkan bagian dari pembantaiannya secara langsung di Facebook.

Pria berusia 29 tahun itu mengaku bersalah pada Maret tahun ini dan didakwa atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan dakwaan terorisme. Sebelumnya, Tarrant membantah tuduhan terhadapnya dan dijadwalkan akan diadili pada Juli lalu.

Namun, ia kemudian membatalkan pembelaannya untuk menghindari persidangan panjang yang diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan. Itu juga berarti belum ada laporan resmi tentang pembunuhan tersebut.

Pada Senin, seorang jaksa penuntut membacakan versi pihak berwenang dari kejadian tersebut, serta memberi tahu pengadilan tentang perincian di mana Tarrant telah merencanakan serangan, membeli beberapa senjata api, ribuan butir amunisi, dan baju besi balistik, serta rompi bergaya militer.  

Tarrant dilaporkan pindah ke Selandia Baru dari Australia pada 2017. Ia kemudian mulai merencanakan serangan, menelaah berbagai masjid di Selandia Baru, mengamati rencana tentang bangunan yang ingin dia serang dan melakukan perjalanan ke Christchurch dari kota selatan Dunedin, tempat dia tinggal. Ia pergi ke Christchurch dua bulan sebelum aksi pembantaian dilakukan.

Saat berada di sana, dia menerbangkan drone di atas masjid Al Noor, melewati pintu masuk, dan keluar gedung. Pada hari penyerangan, sang teroris memiliki kaleng bensin di mobilnya, yang menurut polisi itu akan digunakannya sebagai bahan bakar.

Setelah laporan resmi dari peristiwa tersebut dibacakan pada Senin, puluhan orang akan memberikan kesaksian secara langsung pada sidang yang dijadwalkan akan dilaksanakan dalam empat hari. Para penyintas dan anggota keluarga korban akan membacakan pernyataan atau kesaksian di hadapan pelaku penyerangan tersebut di ruang sidang yang tenang.

Karena aturan jarak sosial akibat pandemi Covid-19, ruang sidang utama relatif kosong. Sementara ada ruang pengadilan tambahan di dalam kompleks pengadilan tersebut, yang disediakan bagi para penyintas dan kerabat korban yang terbunuh.

Tarrant telah dibawa ke sudut khusus di mana dia duduk di belakang penghalang kaca. Dia dijaga oleh empat petugas polisi dan tangannya dibelenggu ke pinggang. Dilansir di The Guardian, Senin (24/8), Tarrant tampak mengenakan kaus penjara berwarna abu-abu dan celana olahraga. Dia tampak memiliki ekspresi kosong dan sesekali melihat ke sekeliling ruangan.

 

 

Tarrant kini kemungkinan menghadapi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat, hukuman yang pertama kalinya dijatuhkan di Selandia Baru. Setelah memilih mewakili dirinya sendiri, dia akan memiliki kesempatan berbicara di pengadilan selama persidangan. Dia dapat mengajukan pertanyaan kepada hakim dan wartawan, tentang apakah pandangan yang dia promosikan harus ditekan atau disensor.

Ringkasan fakta saksi dibacakan oleh salah satu jaksa. Fakta tersebut menunjukkan itu dokumen yang brutal. Berulang kali, jaksa penuntut menggambarkan aksi itu sebagai eksekusi berdarah dingin. Sebab, pria bersenjata itu berulang kali kembali kepada orang-orang yang telah dia tembak dan menembak lagi untuk memastikan mereka sudah mati.

Dalam ringkasan fakta yang dibacakan, orang-orang saat insiden itu terluka, menangis, atau mencoba melarikan diri. Namun, pria bersenjata itu akan menembak lagi.

Ketika deskripsi kematian seorang pria dibacakan, ibu korban, di pengadilan, diam-diam menutup mulutnya dengan tangannya. Namun, ada momen kepahlawanan yang juga disorot. Di masjid Al Noor, seorang pria bernama Naeem Rashid melemparkan dirinya ke arah pria bersenjata itu sebelum dibunuh.

Keluarga korban dan survivor penembakan masjid di Christchurch menghadiri persidangan di Pengadilan Tinggi Selandia Baru pada Senin (24/8). - (AP Photo/Mark Baker)

Jaksa juga menggambarkan tindakan Adbul Aziz, seorang pria di masjid Linwood yang berlari meneriaki Tarrant, kemudian mengejarnya dan melemparkan salah satu senjata penembak ke jendela mobilnya. Setelah Tarrant ditangkap saat dia melarikan diri dengan mobil dari masjid kedua, menurut ringkasan polisi, dia mengaku melakukan kejahatan.

Dia mengatakan kepada petugas, dia berharap dia telah membunuh lebih banyak orang. Ia juga menyatakan pandangan politik dan anti-Islam sebagai motivasinya.

Setelah uraian panjang tentang kejadian tersebut, para korban serangan mulai berbicara. Mereka berdiri hanya beberapa meter dari pria bersenjata itu dan terkadang menyapanya secara langsung. Di antara mereka adalah Gamal Fouda, imam masjid Al Noor, yang memimpin sholat ketika teroris menyerbu masuk masjid.

"Anda salah arah dan tersesat. Kami komunitas yang damai dan penuh kasih yang tidak pantas menerima tindakan Anda. Kebencian Anda tidak ada gunanya. Jika Anda telah melakukan sesuatu, Anda telah membawa komunitas dunia lebih dekat dengan tindakan jahat Anda," kata Fouda, yang melakukan kontak mata langsung dengan Tarrant.

 

Selama sidang berlangsung, gedung pengadilan dijaga dengan tingkat keamanan yang ketat. Polisi bersenjata ditempatkan di luar gedung dan di seluruh area gedung. Sementara penembak jitu ditempatkan di atap gedung, dan barikade kendaraan memblokir jalan-jalan di luar. Barikade tersebut dipasangi pembatas beton besar yang diangkat dengan derek pada akhir pekan ini.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler