Yahudi di Indonesia: Usia Kecil Sudah Punya Mobil Sport
Yahudi di Indonesia menduduki strata teratas dalam masyarakat.
REPUBLIKA.CO.ID,
Ketika Israel Cohen—penyandang dana gerakan Zionist—tiba di Batavia pada 1921, orang-orang Yahudi di Hindia-Belanda bergelimang kemewahan, dengan koleksi jongos, babu, dan tukang kebun (semuanya inlander) sekian banyak. Shoshana Lehrer, yang meninggalkan Indonesia setengah abad lalu, menulis pendapatan per kapita orang Yahudi di Hindia-Belanda 4.017 gulden. Pendapatan per kapita inlander 78 gulden per tahun.
Dr Eli Dwek, Yahudi Azhkenazim asal Surabaya, mengenang kemewahan hidup di Hindia-Belanda dengan satu kalimat, “Saat masih kanak-kanak, ayah memberikan saya mobil sport.”
Cohen datang ke Hindia-Belanda untuk mencari dana bagi gerakan Zionist, sekaligus menularkan gagasan kembali ke tanah yang dijanjikan kepada orang-orang Yahudi. Di Batavia, ia bertemu masyarakat Yahudi di Theosopical Hall. Di Semarang dan Surabaya, Cohen berbicara di loji Freemason.
Saat bertemu Yahudi yang beristri penduduk lokal, Cohen secara terbuka mengutarakan kekhawatirannya. Menurutnya, kelak seluruh Yahudi di Hindia-Belanda melebur total dengan masyarakat besar dan akan kehilangan keyahudiaannya. Namun, ia bisa berlega hati ketika menemukan cabang Keren Hayesod, organisasi Yahudi internasional yang bergerak mengumpulkan dana bagi orang-orang Yahudi miskin di Palestina. Keren Heyesod hadir di Hindia-Belanda pada 1920, dan memiliki cabang di Batavia, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Padang, dan Yogyakarta.
Di Surabaya pula Cohen melihat keragaman asal-usul Yahudi, tidak hanya dari Belanda dan Irak, tapi banyak yang berasal dari Rusia, Rumania, Austria. Mereka mengembangkan identitas Yahudi Hindia-Belanda, atau Indies Jews, dengan segala atribut yang membedakan dari Yahudi lainnya.
Pada akhir kunjungan lima hari ke Hindia-Belanda, Cohen memperkirakan hanya ada sekitar 2.000 Yahudi di nusantara. Rob Cassuto membantah klaim ini. Menurutnya, jumlah riil Yahudi di Hindia-Belanda jauh lebih tinggi, tapi tidak teridentifikasi.
Argumentasi Cassuto diperkuat pengakuan beberapa anggota keluarganya yang secara sadar menyembunyikan identias keyahudian karena tidak ingin berbeda dari pemukim kulit putih lainnya. Jeffrey Hadler punya pendapat lain. Menurutnya, ada diskriminasi tak kentara terhadap Yahudi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda.
Misal, tidak ada Yahudi menempati posisi penting di Nederlandse Handelmaatschappij sampai 1936. Javasche Bank, Nederlandse Indische Handelsbank, dan perusahaan-perusahaan pelayaran (scheepvaartmatschappijen) baru membuka diri terhadap Yahudi tahun 1925.
Setelah Cohen pulang, dua organisasi Yahudi; Association for Jewish Interest in Dutch East Indies dan World Zionist Conference (WZC) terbentuk di Bandung, Yogyakarta, Batavia, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Malang. Kemunculan kedua organisasi itu membawa sedikit pengaruh bagi penemuan kembali jati diri keyahudian dengan sistem kepercayaannya.
Di Bandung, misalnya, muncul perayaan Hanukkah. Di Batavia dan Semarang, orang-orang Yahudi lebih suka terlibat dalam pertemuan Freemason dan kelompok-kelompok Theosofi. Menariknya, justru di loji Masonic hari besar Hanukkah dan Yom Kippur dirayakan. Sedikit Yahudi lainnya terlibat dalam klub drama yang disebut Soos.
Cassuto memperkirakan orang-orang Yahudi menjadikan loji Freemason untuk membangun jaringan, dan arena diskusi teologis yang tidak mempertentangkan agama. Mereka tidak pernah benar-benar menjadi Masonic, tapi merindukan suasana religius.
Di Padang, pengaruh kedatangan Cohen mulai muncul enam tahun kemudian. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, muncul pada 1926 dan terbit secara teratur. Majalah dikonsumsi keluarga Yahudi di Padang, dan didistribusikan ke Semarang, Bandung, dan Batavia, namun diberangus Jepang pada 1942.
Sepuluh tahun setelah kedatangan Cohen, Pemerintah Hindia-Belanda menggelar sensus. Berbeda dengan sebelumnya, sensus kali ini mencantumkan kata Yahudi dan asal dalam kolom white (kulit putih) non-Belanda. Hasilnya, 1.095 secara sadar mengaku sebagai Yahudi, dengan berbagai asal negara; Belanda, Jerman, Polandia, Irak, Austria, dan Cina
Dari jumlah itu, 85 persen bermukim di kota-kota di Jawa; Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Sebelas persen bermukim di Sumatra; Medan dan Padang, dan sisanya—kurang dari empat persen—mendiami pulau-pulau lain di Hindia-Belanda.
Cassuto memperkirakan,jumlah Yahudi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat beberapa tahun sebelum Adolf Hitler menginvasi Eropa. Sentimen antisemit yang merebak di Jerman, Polandia, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, memaksa orang-orang Yahudi kaya melarikan diri. Hindia-Belanda menjadi salah satu destinasinya.