Pengamat Jelaskan Alasan Partai Islam Mudah Pecah
Partai Islam kurang solid karena terkait suara pendukung dan gengsi antartokoh.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menyoroti tidak solidnya partai Islam jelang kontestasi. Hal inilah yang menyebabkan mereka sering mengalami konflik, dan berujung perpecahan.
“Partai Islam itu kurang solid dan tidak bisa berkompromi karena memang terkait irisan suara masing-masing pendukung dan memang terkait dengan gengsi antartokoh,” ujar Adi saat dihubungi, Rabu (2/9).
Ia menyoroti konflik terbaru pada Partai Amanat Nasional (PAN). Partai berlambang matahari kini tengah bermasalah karena tidak adanya kesolidan antara elite internal partai.
Hal serupa juga terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang berujung dengan adanya Partai Gelora yang diinisiasi oleh mantan kader partai tersebut. “Kalaupun saling berkoalisi pertanyaannya, kira-kira siapa yang harus memimpin ini. Sementara masing-masing elite ini merasa paling pantas untuk memimpin,” ujar Adi.
Sering adanya konflik berujung perpecahan inilah yang membuat suara partai Islam setia pemilihan umum selalu menurun. Sebab, masyarakat di luar pendukung setianya jengah dengan partai yang hanya mengisi pemberitaan bukan dengan visi dan misinya.
“Suka tidak suka turut mempengaruhi tingkat elektabilitas mereka setiap pemilu. Konflik di internal mereka ini bukan hanya meremuk redamkan struktur partai, mereka kesulitan mendapatkan simpati pemilih,” ujar Adi.
Efeknya, partai Islam tidak akan pernah mengisi peringkat atas pada pemilihan umum. Hal ini terlihat dari PKS, PAN, dan PPP yang suaranya cenderung tak meningkat. Hanya PKB yang dinilainya cukup stabil, karena memiliki basis pendukung yang cukup loyal.
“Mereka paling mentok sebagai partai tingkat menengah saja. Karena memang agak sulit mendapatkan basis-basis pemilih non-Islam, apalagi di daerah yang memiliki basis non-Islam,” ujar Adi.