Gus Fahrur Nilai Islam Aswaja Rangkul Perbedaan Budaya dengan Humanis

Islam aswaja mampu memelihara spiritualitas dan menaungi keragaman nusantara.

PBNU
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Fahrur Rozi yang akrab disapa Gus Fahrur.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan Ahmad Fahrur Rozi menjelaskan tentang pentingnya kehadiran agama Islam dengan ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Aswaja dinilai mampu merangkul segala perbedaan budaya dengan cara humanis.

Baca Juga


Berdasarkan siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (16/1/2025) , ia mengatakan Islam aswaja kini dipercaya sebagai benteng yang menjaga keragaman Indonesia dari ancaman ideologi transnasional. Pria yang akrab disapa Gus Fahrur ini menyayangkan adanya pihak yang mengaitkan tuduhan bidah pada Islam aswaja.

Menurutnya, pihak yang demikian adalah mereka yang sebenarnya tidak memahami agama Islam secara komprehensif.

Ia menambahkan kurangnya wawasan agama yang moderat menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu mudah melempar klaim salah terhadap Islam aswaja. Menurutnya, Islam aswaja justru secara konsisten berusaha merangkul segala perbedaan yang ada.

"Mereka yang suka menuduh itu karena pengetahuannya yang kurang luas. Mereka itu hanya belajar pada satu sisi tertentu, kemudian mereka menghakimi orang karena tidak mengetahui keseluruhan perspektifnya. Seandainya pengetahuan seseorang lebih luas, pasti tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Hal yang demikian bukanlah sifat orang yang alim atau berilmu," kata Gus Fahrur.

Ia menjelaskan kurangnya wawasan dan sudut pandang keagamaan membuat seseorang atau kelompok cenderung menafsirkan dalil-dalil agama dengan cara yang ekstrem.

 

Hal ini membuat mereka jadi lebih mudah melemparkan klaim bidah sesat hingga menghalalkan kekerasan bagi setiap kelompok yang dianggap berbeda dengan mereka.

Gus Fahrur yang juga menjabat Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ini mengibaratkan seseorang yang mudah menyalahkan orang lain, seperti sekelompok orang buta yang memegang gajah untuk mengetahui bentuk aslinya binatang itu.

Menurutnya, orang-orang buta ini akan merasa paling benar karena dia hanya meraba si gajah dari satu sisi dan tidak melihat dari keseluruhan sisinya.

"Ketika dia pegang ekor, dia mendefinisikan gajah itu bentuknya kecil dan membodoh-bodohkan yang bilang gajah itu besar. Karena apa? Dia hanya pegang ekor. Lalu, orang yang pegang perut bilang bentuknya gajah itu besar dan mengklaim yang bilang gajah itu kecil berarti kafir. Padahal, jika mengetahui dari keseluruhan sisinya, orang akan bilang gajah itu besar, punya telinga begini, ekornya begini, perutnya begini, dan seterusnya. Kenapa? Karena ia mampu melihat dengan jelas," ujarnya.

Mengenai esensi dari bulan Rajab yang seringkali disalahartikan, ia mengatakan mereka menggunakan simbol-simbol seperti pembebasan Baitul Maqdis dan jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, yang semua itu terjadi pada bulan Rajab.

Padahal, alih-alih menggemakan kekerasan dan peperangan, Rasulullah SAW justru memperbanyak ibadah pada bulan Rajab.

 

"Jadi, kita ahlussunnah itu mengikuti Rasulullah. Rasulullah pada bulan Rajab melakukan apa? Yaitu puasa, banyak berdoa, banyak berzikir, dan bersiap memasuki bulan Ramadhan. Selain itu, Rasulullah mencontohkan agar bagi yang masih punya utang puasa disegerakan untuk dilunasi. Ini yang kita imani dari bulan Rajab, kita menyambutnya sebagai bulan untuk menanam kebaikan sampai ke bulan Ramadan," jelas Gus Fahrur.

"Kalau kita memaknai mulia bulan Rajab ini dengan memperbanyak ibadah menjelang bulan Ramadan maka kita beribadah karena akan menyambut bulan mulia. Maka pada bulan Rajab ini ketika kita memperbanyak amalan dan ibadah serta puji-pujian kepada Allah dan Rasulullah maka kita berharap agar jadi lebih baik pada bulan Ramadhan. Dengan demikian, sudah enteng kebaikan itu mengakar pada diri kita," katanya.

Ia berharap dengan hadirnya ahlussunnah wal jamaah mampu selalu memelihara spiritualitas dan menaungi keragaman nusantara.

Ia juga menilai kedewasaan masyarakat Indonesia dalam mencari sumber pengetahuan agama menjadi lebih baik dengan semakin banyaknya ulama dan dai yang moderat.

"Kita juga harapkan pemerintah mempunyai keberpihakan lebih kepada ormas-ormas moderat. Dengan demikian, Islam aswaja dan arus keagamaan yang moderat akan memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan dakwah dengan lebih baik di ruang publik. Prinsipnya pemerintah punya segala instrumen untuk melakukan pencegahan terhadap ideologi transnasional secara komprehensif sehingga efek negatifnya tidak meluas di masyarakat," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler