Populasi Satwa Liar Turun 68 persen Sejak 1970
Penurunan satwa liar terbanyak terjadi di Amerika Latin dan Karibia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah populasi mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi telah menurun rata-rata 68 persen antara tahun 1970 dan 2016. Hal ini dilaporkan oleh World Wildlife Fund (WWF) 2020. Laporan ini merupakan penilaian satwa liar yang dilakukan dua kali setahun.
Menurut laporan ini, Amerika Latin dan Karibia paling terpengaruh, dengan penurunan rata-rata 94 persen. Laporan tersebut menunjuk pada menusia sebagai penyebab utama kerusakan alam dan penurunan populasi satwa liar.
Peningkatan konsumsi, populasi, perdagangan, dan urbanisasi dalam 50 tahun terakhir berarti kita sekarang menggunakan lebih banyak sumber daya Bumi yang dapat dilestarikan. Ini berdampak luar biasa pada keanekaragaman hayati.
"Laporan ini mengingatkan kita bahwa kita menghancurkan planet dengan risiko kita sendiri karena itu adalah rumah kita. Saat jejak kaki manusia berkembang menjadi tempat yang dulunya liar, kita menghancurkan populasi spesies. Namun kita juga memperburuk perubahan iklim dan meningkatkan risiko penyakit zoonosis," kata CEO WWF Carter Roberts dalam sebuah pernyataan, dilansir di ZME Science, Jumat (11/9).
Laporan tersebut mengukur ukuran populasi vertebrata. Ini berbeda dengan mengidentifikasi spesies yang terancam atau punah, yang mungkin menunjukkan sedikit tentang kesehatan ekosistem secara keseluruhan.
Penemuan tersebut menunjukkan bahwa negara-negara di seluruh dunia belum melakukan pekerjaan rumah mereka untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati air tawar menurun jauh lebih cepat daripada di lautan atau hutan kita. Sebanyak 3.741 populasi yang dipantau dalam Indeks Planet Kehidupan Air Tawar telah menurun dengan rata-rata 84 persen, setara dengan 4 persen per tahun sejak 1970. Sebagian besar penurunan terlihat pada amfibi air tawar, reptil, dan ikan.
Pemicu langsung utama hilangnya keanekaragaman hayati adalah perubahan penggunaan lahan. Khususnya konversi habitat asli seperti hutan dan padang rumput menjadi sistem pertanian.
Perubahan iklim belum menjadi pendorong utama. Namun, WWF mengantisipasi hal itu akan menjadi sama pentingnya dengan pendorong lainnya dalam beberapa dekade mendatang.
WWF juga menggarisbawahi pentingnya mengubah sistem ekonomi kita agar mencerminkan modal alam yang mendukung kesejahteraan ekonomi kita. Singkatnya, ini adalah seruan kepada para pemimpin global untuk memperlakukan konservasi keanekaragaman hayati sebagai investasi untuk menjaga kesehatan, kekayaan, dan keamanan manusia.
Menurut Kepala Ilmuwan Global WWF Rebecca Shaw, meskipun tren ini mengkhawatirkan, ada alasan untuk tetap optimis. Generasi muda menjadi sangat sadar akan hubungan antara kesehatan planet dan masa depan mereka sendiri, dan mereka menuntut tindakan dari para pemimpin kita.
"Kita harus mendukung mereka dalam perjuangan mereka untuk planet yang adil dan berkelanjutan." kata Shaw.