Adab-Adab Tagih Utang yang Kerap Diabaikan Pemberi Pinjaman

Terdapat adab menagih utang yang penting diperhatikan pemberi pinjaman.

Republika/Musiron
Terdapat adab menagih utang yang penting diperhatikan pemberi pinjaman. Memberi uang, dan membayar hutang (ilustrasi).
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menagih utang merupakan hak kreditur (pemberi pinjaman). Karena dengan perjanjian utang, debitur (peminjam) berkewajiban melunasi utang sesuai dengan kesepakatan.

Baca Juga


"Misalnya saya meminjam uang yang jatuh tempo pada tanggal 1, maka saya harus membayar saat jatuh tempo, jika tidak maka pemberi pinjaman berhak dan halal menagih utang saat melewati jatuh tempo," ujar anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Ustadz Oni Syahroni  kepada Republika.co.id, Senin (21/9).

Dia menjelaskan, menurut fiqih muamalah, mengingatkan kewajiban utang setelah melewati jatuh tempo boleh asal dengan adab-adab yang sesuai dengan Islam. Di antaranya adalah ketika mengingatkan untuk menagih sebaiknya menggunakan bahasa yang santun.

Kemudian penagih hendaknya memastikan kesepakatan yang telah dilakukan mengenai jatuh tempo waktu pembayaran utang. Tidak boleh menagih utang sebelum jatuh tempo, misalnya jatuh tempo tanggal 1 tetapi sudah menagih 15 hari sebelumnya. Hal tersebut bukanlah adab menagih utang.  

Jika peminjam sulit dihubungi atau terkesan menghindar ini menjadi bagian dari pelajaran transaksi utang piutang atau simpan pinjam. Sehingga ketika transaksi penting untuk memilih mereka yang berhak diberi pinjaman atau utang. Mereka harus memiliki komitmen melunasi kewajiban. Saat transaksi, si pemberi pinjaman berhak meminta jaminan yang bernilai.

 "Misalnya saya memiliki utang Rp 3 juta, pemberi pinjaman dapat meminta jaminan seharga Rp 3 juta atau lebih. Maka saat jatuh tempo peminjam tidak bisa membayar,  maka dapat diperpanjang, jika kembali tidak bisa membayar dan diperpanjang tak juga membayar, maka jaminan tersebut berhak dijual dan hasilnya untuk melunasi utang si peminjam," jelas dia. 

Selain itu sebagai pemberi pinjaman juga berhak meminta peminjam untuk menghadirkan pihak ketiga sebagai peminjam. Penjamin bisa saudara atau kerabat peminjam.  

Penjamin ini bertugas untuk melunasi untang peminjam jika dia tidak sanggup membayar utang. Dalam Islam ini diperkenankan adanya penjamin atau disebut kafil atau kafalah.  

Peminjam yang terlambat membayar juga diperbolehkan dikenakan denda keterlambatan. Denda ini bertujuan sebagai alat mendisiplinkan peminjam agar membayar tepat waktu.  

Dia mengutip, fatwa DSN MUI dan Syariah Internasional  mengizinkan adanya denda dengan kriteria peminjam mampu dan sengaja menunda pembayaran. Uang hasil denda tidak boleh digunakan sebagai pendapatan pemberi pinjaman tetapi digunakan untuk dana sosial seperti infak dan sedekah. 

Selain denda, pemberi pinjaman juga diizinkan untuk menggunakan jasa penagih utang atau sering dikenal debt collector karena tak memiliki keluangan waktu untuk menagih, namun tetap sesuai adab yang telah dijelaskan sebelumnya. "Debt collector tidak hanya berhasil menagih tetapi memiliki komitmen untuk menagih sesuai undang-undang dan adab," ujar dia.

Dia menegasan, menagih harus dengan cara yang baik, tidak boleh menggunakan kekerasan dan intimidasi. Kemudian jika peminjam tidak sanggup untuk mengembalikan utang yang dipinjam maka ada dua pilihan. Di masa pandemi ini misalnya peminjam memiliki usaha karena bangkrut maka tidak dapat membayar maka pemberi pinjaman dapat memberikan relaksasi berupa restrukturisasi jangka waktu pembayaran karena pandemi merupakan keadaan khusus.  

Jika bulan ini belum bisa membayar, maka diperpanjang bulan depan begitu seterusnya. Namun jika setelah diperpanjang mengalami gagal bayar pemberi pinjaman dapat menjual jaminan untuk menutup pinjaman. Tetapi jika tidak memiliki jaminan sesuai dengan hadits nabi, maka dapat mengikhlaskannya.n  

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler