Fakta-Fakta Jarang Diketahui Terkait Kesultanan Ottoman (2)

Fakta berupa skandal dan intrik politik jarang diketahui di Kesultanan Ottoman.

Arabicpost
Fakta berupa skandal dan intrik politik jarang diketahui di Kesultanan Ottoman. Ilustrasi sultan ottoman.
Rep: Mabruroh Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kekhalifahan Utsmaniyah atau dikenal dengan Ottoman dalam ejaan barat merupakan kekhalifahan Islam terbesar yang bukan dari bangsa Arab. Ottoman berawal dari sebuah kelompok kecil di Asia yang kemudian mulai mengepakkan sayapnya hingga ke Afrika dan Eropa. 

Baca Juga


Sebelumnya, Republika.co.id menurunkan artikel tentang asal-asul dari benih dari munculnya Ottoman. Baca: https://republika.co.id/berita//qh26tw320/fakta-fakta-jarang-diketahui-terkait-kesultanan-ottoman-1

Republika.co.id kembali ingin menampilkan fakta-fakta lain di balik kejayaan Kesultanan Turki itu. Dilansir dari History Collection, berikut ini beberapa fakta yang dapat diketahui, sebagian besarnya adalah catatan kelam berupa skandal dan intrik yang jarang diungkap ke publik, berikut di antaranya: 

Keenam, intrik pembunuhan di lingkungan istana. Putra tertua Suleiman I dan penerusnya, Shehzade Mustafa (1515-1553), adalah sosok putra yang dibanggakan ayah mana pun. Sejak usia dini, pangeran muda telah menunjukkan keahliannya sebagai pejuang pemberani, jenderal yang terampil, dan gubernur yang cakap. Mustafa dicintai tentara, para ulama, dan populer di masyarakat luas.

Khawatir Mustafa akan menduduki kerajaan, ibu tirinya, Roxelana tidak rela. Roxelana ingin agar pewaris selanjutnya kerajaan Ottoman adalah anaknya, Selim.  

Roxelana mulai melancarkan hasutan pada Raja Suleiman I. Dia berusaha meracuni pikiran Suleiman untuk membunuh Mustafa. Dia mengatur kampanye bisikan, dan membuat rumor tentang Mustafa.  

Usahanya berhasil karena pada 1553, Suleiman memanggil Mustafa ke tendanya untuk dibunuh. Mustafa dibunuh dengan cara dicekik dengan tali busur.  

Suleiman digantikan putra Roxelana, Selim II, yang dikenal sebagai pemabuk. Dia adalah salah satu penguasa terburuk Dinasti Ottoman, dan menempatkan kekaisaran di jalur kemunduran, hingga akhirnya runtuh. 

Selain itu, oknum keluarga Ottoman menggunakan cara paling keji untuk mencegah pertikaian di antara saudara untuk memperebutkan kekuasaan. Ketika Sultan Ottoman baru naik tahta maka dia segera mengeksekusi semua saudaranya. Cara yang kejam, tapi berhasil untuk mengurangi kemungkinan perang saudara dinasti. 

"Setiap anakku yang naik tahta, dapat diterima baginya untuk membunuh saudara-saudaranya untuk kepentingan umum rakyat. Mayoritas cendekiawan Muslim menyetujui hal ini, biarkan tindakan yang sesuai diambil," kata Sultan Mehmed II Sang Penakluk, memberlakukan hukum pemerintahan. 

Hingga dua abad lamanya, Kekaisaran Ottoman sangat stabil dan bebas dari pertikaian dan perang saudara jika dibandingkan dengan orang-orang sezamannya. Namun, meskipun sistemnya berhasil, hati nurani banyak orang di seluruh dunia terganggu pembunuhan saudara kandung kerajaan yang tidak bersalah di awal setiap pemerintahan. 

Kekhawatiran itu mencapai puncaknya ketika Sultan Mehmed III (memerintah 1595-1603) meresmikan pemerintahannya dengan memerintahkan 19 saudara laki-lakinya, dibunuh. Beberapa di antaranya masih anak-anak. Dikatakan bahwa, "Kekaisaran menangis" saat barisan panjang peti mati seukuran anak-anak keluar dari istana dalam prosesi besar keesokan harinya.

Ketujuh, politik pemenjaraan.Akhirnya, muncul reaksi yang menentang tradisi pembunuhan saudara Ottoman. Maka sebuah tradisi baru dikembangkan untuk menggantikannya, yakni dengan mengurung mereka. Maka lahirlah sistem Ottoman Kafes atau "Cage", di mana sultan mendirikan bagian terpencil dari kerajaan Harem mereka sebagai pusat penahanan bagi saudara-saudara mereka. 

Di sana, di Kafes, saingan potensial takhta ditahan di bawah tahanan rumah, diawasi penjaga istana dan diisolasi dari dunia luar untuk mencegah intrik dan plot. Kehidupan di Kafes sangat sulit dan tertekan. 

Penjara ini dimulai di era Sultan Murad IV (1623-1640). Dia memutuskan untuk mengunci mereka di dalam Harem-nya. Sayangnya, alih-alih mengakhiri penderitaan mereka dengan segera, para saudara Ottoman ini justru mengalami teror selama bertahun-tahun, karena gangguan psikologis itu hingga seringkali berakhir dengan kematian.  

Kedelapan, perilaku kekerasan. Sultan Murad IV menggabungkan paranoia dengan sadisme. Murad IV terus-menerus mencurigai saudara laki-lakinya yang tertawan berkomplot melawannya, dan tidak pernah lelah mencoba menjebak mereka untuk mengatakan hal-hal ceroboh yang dapat ditafsirkan sebagai membenarkan kecurigaannya.  

Murad mengirim penjaga atau pelayan yang tampaknya simpatik untuk mencoba dan menarik saudara yang dipenjara ini agar mengucapkan apa pun yang bisa dianggap pengkhianatan. Karena setiap kesalahan lidah bisa mengakibatkan saudara kandung yang dipenjara dituduh berkomplot melawan Sultan, yang hanya ingin alasan untuk mengeksekusi saudara-saudaranya.  

Keinginan untuk menumpahkan darah itu tidak mengejutkan, mengingat "hiburan" bagi Murad termasuk menembakkan panah untuk membunuh nelayan yang tidak waspada yang kapalnya hanyut terlalu dekat dengan istana tepi lautnya. 

Kedelapan, intrik politik. Sultan Ibrahim I (1640-1648), dipenjarakan di Kafes pada usia delapan tahun ketika saudaranya Murad IV naik takhta pada 1623. Saat di Kafes, Murad mengeksekusi saudara-saudaranya yang lain, satu demi satu, sampai hanya Ibrahim yang tersisa, takut kapan gilirannya akan tiba. 

Ibrahim tetap dalam penjara sampai dia tiba-tiba diseret keluar dari Kafes untuk naik takhta setelah kematian Murad pada 1640. Ibrahim menolak untuk menerima takhta tersebut pada awalnya. Sebaliknya, dia bergegas kembali ke Kafes untuk membarikade dirinya di dalam, mencurigai itu adalah trik kejam untuk menjebaknya agar mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan dianggap saudara laki-lakinya sebagai pengkhianat.

Hanya setelah mayat Murad dibawa ke pintu untuk diperiksa, dan dengan perantaraan ibunya, Kosem, barulah Ibrahim diyakinkan untuk menerima tahta.

Kesembilan, kegagalan Sultan Ibrahim I. Bertahun-tahun terisolasi di Kafes membuat Ibrahim tidak layak untuk memerintah. Mentalnya tidak stabil, kondisinya diperburuk oleh depresi atas kematian saudaranya Murad IV, yang tampaknya dia cintai dengan cara yang mirip dengan sockholm syndrome. Tanda awal yang mengkhawatirkan adalah kebiasaan sultan baru memberi makan ikan di kolam istana dengan koin, bukan makanan. 

Karena Ibrahim gila, ibunya Kosem yang menggantikannya. Ibrahim kembali menghabiskan waktu di Harem dengan hampir 300 selir untuk menjauhkannya dari masalah. Karena tradisi pembunuhan saudara Ottoman, Ibrahim adalah laki-laki terakhir dinasti yang masih hidup. 

Sumber: https://historycollection.com/the-mighty-ottoman-empires-lesser-known-facts/  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler