Sejarah Panjang Odading, Roti Bantal yang Viral
Celetukan yang bikin viral: Odading Mang Oleh, rasanya seperti Anda menjadi Iron Man
REPUBLIKA.CO.ID, "Odading Mang Oleh, mmmmmm rasanya seperti Anda menjadi Iron Man"
Penggalan kalimat itu terucap dari mulut konten kreator, Ade Landok saat mempromosikan dagangan kue odading milik temannya, Mang Oleh dalam video yang diunggah di akun Instagram-nya. Video itu viral lantaran ekspresi dan penggunaan kata yang menggelitik. Karena viral, sontak masyarakat penasaran akan rasa kue odading Mang Oleh.
Kini antrean panjang sudah menjadi hal yang biasa di gerobak Mang Oleh, Bandung, Jawa Barat. Ada peningkatan penjualan, dua kwintal per hari.
Ade Londok senang karena dapat membantu Mang Oleh berjualan di tengah pandemi. Berawal dari keisengan, Ade tak menyangka video itu akan viral.
“Iya senang engga nyangka jadi viral se-Indonesia meski ada beberapa video lain yang pernah viral juga di Kota Bandung dan sekitarnya,” kata Ade saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/9). Ade Londok merasa itu sebagai lonjakan dia menjadi konten kreator supaya semakin berkembang dalam membuat konten kreatif untuk masyarakat.
Berkat video viral itu, masyarakat menjadi penasaran akan kue odading. Berbagai informasi muncul di media sosial tentang odading.
Sebenarnya, odading merupakan roti goreng dari Bandung berbentuk persegi menggelembung. Untuk nama odading sendiri, sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, telah beredar kisah seorang anak kecil Belanda yang merengek saat melihat kudapan yang dijajakan seorang pribumi. Dia menunjuk-nunjuk jajanan itu lalu sang ibu kebingungan.
Karena penasaran, sang ibu memanggil penjual dan membuka penutup makanan dagangannya. Setelah dibuka, sang ibu melihat kue dan berkata “O, dat ding?”. Dalam bahasa Indonesia, kalimat itu diartikan “O barang itu?”.
Menurut Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Achmad Sunjayadi asal nama Odading dari cerita tersebut perlu dipastikan sumbernya. “'O dat ding perlu dipastikan sumbernya. Apakah sumber-sumbernya memang ada atau hanya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Menurut saya, itu berdasarkan cerita dari mulut ke mulut,” kata Achmad saat dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (24/9).
Sama dengan asal usul kata “Gedang”, kata Achmad, yang berarti pisang dalam bahasa Jawa atau papaya dalam bahasa Sunda, itu berasal dari kata “God dank”. Yang artinya, terima kasih Tuhan.
Achmad menjelaskan, kala itu ada orang Belanda yang diberi pisang oleh warga setempat di wilayah yang berbahasa Jawa dan diberi pepaya di wilayah yang berbahasa Sunda. Lalu, orang Belanda itu mengatakan “God dank”.
Dihubungi terpisah, antropolog Universitas Brawijaya, Ary Budiyanto menjelaskan odading, tak hanya ditemukan di Bandung, tapi juga di Jawa Tengah. “Kalau di Jawa Tengah, orang Jawa lama sebutnya Galundeng atau umumnya disebut kue bolang-baling, roti bantal. Ini saudaranya cakwe,” ujar dia.
Sebenarnya menurut Ary, odading dinamakan chinese doughnut yang sudah lama menjadi barang jualan khas orang Tionghoa bersama cakwe, onde-onde, dan moho. Kudapan itu masih sering ditemukan dan dijual dorongan atau tenongan.
Perbedaan antara cakwe dengan odading terlihat dari rasa dan waktu dimakannya. Cakwe dimakan bersama dengan bubur, sedangkan odading sebagai cemilan. "Dari segi rasa, cakwe gurih sedangkan odading manis."
Baik cakwe atau odading, awalnya diperkenalkan oleh pendatang Tionghoa pada awal abad 20-an, yang masuk ke Hindia Belanda. Sampai di tanah Jawa, para pedagang kue Tionghoa memperkenalkan kudapan itu, yang dulu biasa dijajakan dengan tenongan atau pikulan keliling.
Saat roda mulai dikenal, mereka berjualan dengan alat bantu dorong. Biasanya, mereka merekrut warga pribumi untuk menjualkan dagangannya. Kemudian orang pribumi belajar cara membuatnya. Ada pula yang beralih profesi berjualan dagangan yang sama.
Kian hari, odading berkembang dan makin dikenal masyarakat. Karena itu, rasa odading dahulu dan sekarang berbeda.
“Kalo rasa ya sebenarnya pasti ada bedanya. Namun, hanya orang-orang tua yang bisa membedakan. Kan minyak goreng dahulu masih pakai minyak kacang atau minyak kelapa, sekarang sawit. Belum lagi jenis tepung zaman dulu dan sekarang serta raginya,” ujar dia.
Selain rasa, odading saat ini tampak lebih modern dan bervariasi. Tak hanya dapat ditaburi wijen dan gula, tapi juga coklat dan kacang.
Selain odading, kudapan lain yang setua odading yakni onde-onde. Sebab, kata Ary onde-onde masuk dalam resep makanan kolonial yang paling awal ditulis berjudul Kokki Bitja, ataoe, kitab masak masakan India, jang bahroe dan semporna oleh Cornelia Nonna tahun 1850. Namun, kata dia, bukan berarti jenis kue yang tidak masuk resep buku tersebut belum dikenal, bisa jadi belum popular. Buku resep zaman Hindia Belanda selalu menyebutkan masakan dan kue serta minuman khas Belanda. "Juga Jawa, Melayu, Cina, Arab, dan India."
Ary menjelaskan kue-kue murah meriah semacam cakwe dan odading dahulu biasa ada saat pasar malam. Hingga sekarang, saat sekatenan (kegiatan tahunan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta) atau festival dugderan biasa muncul di sana. “Yang pasti mudah mencari kue odading dan cakwe di kota yang ada pecinnya,” ujar dia.
Saat kelenteng atau pecinan ada, maka kue khas Cina ini juga pasti hadir, kuliner ada bersama manusianya. Odading hadir saat komunitas di pecinan ada. Jadinya, lanjut dia setiap kota akan berbeda kemunculannya.
“Kalau sekarang sudah hampir merata keberadaanya, dengan penjaja odading dari mana-mana dan bukan lagi spesial hadir di pecinan,” ucap dia.
Selain onde-onde, ada juga makanan lain khas Bandung yang setua odading. Yakni Surabi Bandung dan kue balok. Kudapan itu sudah ada sejak zaman Belanda dan sempat populer di tahun 90-an.