Antibodi Covid-19 Menurun Signifikan dalam Satu Bulan

Nanjing University Medical School di China menguji respons antibodi pasien Covid-19.

AP/Eraldo Peres
Pasien Covid-19 (Ilustrasi). Pemahaman mengenai respons antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, dapat memberikan informasi dasar untuk mengembangkan terapi dan vaksin yang efektif.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 80 persen pasien Covid-19 yang sembuh memiliki antibodi terhadap penyakit akibat infeksi virus SARS-CoV-2 tersebut. Akan tetapi, kadar antibodi pasien tampak menurun secara signifikan dalam hitungan pekan.

Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi yang dilakukan tim peneliti dari Nanjing University Medical School di China. Dalam studi ini, tim peneliti memantau respons antibodi pada 19 pasien Covid-19 gejala ringan dan tujuh pasien Covid-19 gejala berat selama tujuh pekan setelah gejala muncul.

Tim peneliti mendapati bahwa kadar antibodi pada pasien menurun secara signifikan dalam waktu tiga hingga empat pekan. Selain itu, satu dari lima pasien diketahui tidak memiliki antibodi yang mampu melawan virus penyebab Covid-19 setelah keluar dari rumah sakit.

Masih belum dapat disimpulkan apakah pasien Covid-19 yang sudah sembuh menjadi rentan terhadap infeksi ulang. Pemahaman mengenai respons antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 dapat memberikan informasi dasar untuk mengembangkan terapi dan vaksin yang efektif.

Temuan ini sejalan dengan hasil studi yang dilaukan oleh King's College London. Studi dari King's College London menemukan bahwa 60 persen orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 memiliki kadar antibodi yang efektif dalam waktu dua hingga tiga pekan setelah gejala pertama muncul. Akan tetapi, angka ini menurun jadi kurang dari 17 persen dalam waktu tiga bulan.

"Studi-studi seperti ini merupakan bagian penting dalam peristiwa yang masih berlangsung untuk memahami siapa yang memiliki imunitas dan untuk berapa lama," tutur Juru Bicara British Society for Immunology Prof Danny Altmann, seperti dilansir Independent.

Dr Alexander Edwards dari University of Reading mengatakan kadar antibodi tidak bisa diharapkan selalu tinggi sepanjang waktu. Akan tetapi "memori" antibodi dapat menunjukkan kemungkinan adanya perlindungan, meski kadar antibodi rendah.

"Studi ini belum benar-benar menjawab pertanyaan itu," kata Dr Edwards.

Dr Edwards menilai dibutuhkan studi lebih lanjut untuk bisa memahami bagaimana fluktuasi kadar antibodi dapat memengaruhi tingkat keparahan atau infeksi ulang Covid-19. Studi lebih lanjut juga dapat memberikan pemahaman mengenai apakah kadar antibodi yang rendah membuat pasien dapat mengalami infeksi ulang di masa mendatang atau tidak.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler