Melupakan Peristiwa 30 September 1965?

G30S adalah peristiwa paling meninggalkan luka politik bagi Indonesia.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika


Hari ini tepat 55 tahun terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Salah satu peristiwa yang paling meninggalkan konflik dan luka politik paling dalam sepanjang 75 tahun usia kemerdekaan Indonesia.

Namun setiap bangsa memiliki sejarah kelamnya sendiri. Hanya bangsa yang besar yang bisa menjadikan sejarah kelam itu sebagai pelajaran. Sebaliknya bangsa yang mundur adalah bangsa yang menjadikan sejarah hanya sekadar bahan bakar untuk terus berkonflik.

Lihat saja Jepang dan Jerman. Kurang kelam apa sejarah kedua bangsa itu pada Perang Dunia II. Jepang luluh lantak dihajar bom atom dan dilucuti habis oleh Jenderal Douglas McArthur. Pun halnya Jerman yang selalu kalah di Perang Dunia pertama maupun kedua.

Kisah Jerman ini bisa jadi contoh baik dan buruk. Saat Hitler dengan Nazinya tampil ke pentas politik, mereka membawa narasi untuk mengembalikan kehormatan Jerman.

Sejarah konflik Perang Dunia I coba dipantik sebagai bahan bakar. Akibatnya saat Hitler berkuasa, Jerman seperti memundurkan kembali mesin waktu. Konflik Perang Dunia 1914-1918 kembali diulang pada Perang Dunia II.

Hasilnya Jerman hancur lebih parah. Secara moral bangsa itu benar-benar hancur di Stalingrad. Jerman kemudian ibarat pampasan perang yang dibagi antara Soviet dan Sekutu.

Namun Jerman maupun Jepang benar-benar belajar dari kekalahan di Perang Dunia II itu. Kisah sejarah itu menjadi motivasi mereka untuk bangkit. Jerman tidak mungkin melupakan era Nazi, tapi tak pula menjadikan hal itu sebagai wacana yang kembali harus dipertentangkan. Bangsa itu bersatu untuk menatap masa depan.

Sebab mereka sadar konflik politik masa lalu tak akan bisa mengantar mereka menjadi bangsa yang maju. Sebaliknya dari puing puing kehancuran Jerman maupun Jepang menata sektor pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Konflik masa lalu direspons sebagai motivasi untuk bangkit di sisi yang lebih luas dari sekadar politik. Sisi kesejahteraan dan ekonomi.

Tanpa kesejahteraan sentimen masa lalu akan mudah tumbuh kembali. Tapi dengan kesejahteraan wacana bangsa akan jauh lebih maju. Sebab masa lalu hasilnya sudah tercatat dalam buku sejarah.

Jerman dan Jepang hanya bisa membalik sejarah itu dengan memenangkan masa depannya. Masa depan yang mereka sadari betul ada di sisi kesejahteraan dan ekonomi. Walhasil Jepang dan Jerman berhasil bangkit dari negara kalah di masa lalu menjadi raksasa dunia kini.

Sejarah jadi pelajaran sebuah bangsa untuk bergerak maju. Bukan sejarah jadi mesin waktu yang memundurkan semua wacana dan melenggangkan warisan konflik. Tapi bagaimana mau belajar dari sejarah kalau mata pelajarannya saja dihapus?

Indonesia harusnya bisa berkaca pada pengalaman Jepang dan Jerman. Lantas mengapa situasi bangsa saat ini ibarat mundur ke suasana tahun 1960-an? Situasi yang mana kubu oposisi yang Islam dituding sebagai pemberontak radikal bak DI/TII. Sebaliknya pemerintah dituding pro PKI. Harus diakui wacana bangsa ini mundur ke belakang.

Situasi ini menjadi konsekuensi logis atas sistem politik yang sejatinya masih tertutup. Akses berpolitik masih dimonopoli kelompok yang masih tersangkut paut atas peristiwa 1965. Ini diperparah pula ulah buzzer-buzzer politik yang menggunakan segala cara dan lebalisasi sehingga membuat bangsa ini begitu terbelah menjadi dua kubu. Pola keterbelahan ini mirip dengan struktur masyarakat tahun 1965.

Celakanya, bangsa ini senang bersandar pada peristiwa dan kehebatan persona masa lalu. Sebagai contoh saja, di sepak bola kisah kehebatan Ramang cs menahan Uni Soviet pada Olimpiade masa lalu masih terus diulang-ulang dalam puluhan tahun kemudian.

Ya, semua ini terjadi karena sejarah dijadikan ibarat dongeng dan apologi atas kekalahan di masa kini. Karena sedikit yang bisa dijadikan panutan, maka pilihannya kembali ke kisah masa lalu.

Namun hanya 'dongeng' sejarahnya saja yang diserap. Bukan justru kisah kehebatan tokoh dan peristiwa monumental itu dibedah struktur yang membentuknya untuk ditiru. Misalkan, beberapa gelintir orang menjadikan Bung Karno sebagai simbol dan role model.

Mereka hanya membaca kisah dan narasi, tapi dangkal dalam membedah struktur persona Bung Karno. Padahal secara struktur, Sukarno tak sekadar pemimpin yang lahir dengan narasi-narasi hebat. Sukarno lahir lewat proses berpikir, belajar, membaca, dan berdiskusi yang tak sembarangan.

Pemikiran Sukarno begitu aktual karena dua tak hanya sekadar mengutip buku atau pandangan tokoh-tokoh besar. Lebih dari itu Sukarno memperbaharui pemikiran lama tersebut dengan menyesuaikan dengan konteks zaman (zeitgeist). Bukan justru pemikiran masa lalu di-copy paste dan disakralkan bak agama dan kepercayaan.

Kembali ke soal 1965, jadi sangat sulit melihat bangsa ini maju jika kekuatan yang kini bertarung masih sulit lepas dari narasi konflik masa lalu. Jadi untuk menatap masa depan, hal yang paling penting dari sejarah adalah memahami struktur yang membentuk peristiwa masa lalu tersebut. Ini terutama dalam konteks memahami struktur apa yang membentuk peristiwa 1965.

Mengutip pandangan penganut teori struktural, struktur adalah yang membentuk peristiwa. Struktur yang membentuk peristiwa 1965 adalah polarisasi masyarakat yang begitu terbelah secara politik, sosial, dan ekonomi. Struktur inilah yang mestinya kita cegah di masa kini agar konflik serupa bisa kita hindari di masa depan.

Pada akhirnya sejarah ibarat struktur tangga yang bisa membawa kita naik ke masa depan atau justru turun ke masa lalu. Tergantung mau ke sisi mana sebuah bangsa mau menapaki tangga itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler