UU Ciptaker Vs UU Ketenagakerjaan: Kerancuan Pekerja Kontrak

UU Ciptaker membuka peluang tafsir atas jenis pekerjaan yang dikategorikan PKWT.

Republika/Thoudy Badai
Pekerja beraktivitas di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (6/10). Sejumlah serikat buruh melakukan aksi mogok kerja nasional yang berlangsung tanggal 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai akan berdampak pada lingkungan dan pekerja. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Adinda Pryanka, Haura Hafizhah

Gelombang demonstrasi dan aksi mogok kerja buruh masih berlangsung hingga hari ini menyusul pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) oleh DPR pada Senin (5/10). Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes para buruh atas disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca Juga



"Setelah kemarin ratusan ribu bahkan hampir satu juta buruh keluar dari pabrik-pabrik untuk mengikuti mogok nasional, hari ini kami akan melanjutkan pemogokan tersebut," kata Said kepada Republika, Rabu (7/10).

Said menegaskan, aksi buruh dilakukan semata-mata untuk meminta Pemerintah dan DPR RI membatalkan omnibus law karena di dalamnya ada persoalan mendasar seperti pengurangan pesangon, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, UMSK dihilangkan, ada syarat khusus untuk penetapan UMK hingga potensi hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun bagi penerapan kontrak dan outsourcing.

Salah satu isu ketenagakerjaan yang paling menjadi sorotan dalam UU Cipta Kerja adalah soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang kerap dikenal dengan pekerja kontrak. UU Ciptaker merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan soal PKWT dengan frasa yang dianggap kurang jelas.

Pengaturan soal PKWT dalam UU Ciptaker diatur dalam Pasal 59. Ayat (1) pasal tersebut berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

  1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
  3. pekerjaan yang bersifat musiman
  4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
  5. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.


Adapun dalam UU Ketenagajerjaan Pasal 59 ayat (1) berbunyi, perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

  1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
  4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan

In Picture: Aksi Penolakan UU Ciptakerja di Berbagai Kota

Demonstran menyerang barikade kepolisian saat unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja, di Depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, (6/10/2020). Aksi yang menolak, menuntut pembatalan, serta menuntut pembuatan Perppu untuk Undang-Undang Cipta Kerja tersebut berakhir ricuh. - (NOVRIAN ARBI/ANTARA FOTO)

Bila dibandingkan, terdapat perbedaan mencolok dalam huruf b kedua ayat tersebut. UU Cipta Kerja menghapus frasa 3 tahun menjadi kata 'waktu tidak terlalu lama'. Frasa tersebut membuka peluang tafsir yang melebar soal jenis-jenis pekerjaan yang dikategorikan sebagai PKWT alias kontrak.

Perusahaan dikhawatirkan mengada-ada berbagai jenis pekerjaan dengan model PKWT berdasarkan poin b tersebut.

Ayat (2) Pasal 59 di UU Ciptaker dan UU 13/2003 berbunyi sama, yakni Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Namun, perbedaan kembali ditemui dalam mekanisme perpanjangan kontrak tidak dibahas dalam UU Ciptaker.

Pasal 59 ayat (4) UU Ciptaker menyatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Padahal, dalam UU 13/2003, mekanisme perpanjangan sedemikian rupa. Dalam UU existing tersebut, ayat (4) berbunyi perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untukcpaling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Lalu ayat (5) menyatakan, pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

Lalu pada ayat (6) UU 13/2003 Ketenagakerjaan, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.



Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan, pemerintah tetap memperhatikan pengaturan syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/ buruh PKWT sebagai dasar dalam perjanjian kerja di Undang-Undang Cipta Kerja. Ida menuturkan, Undang-Undang Cipta Kerja bahkan memberikan perlindungan baru, yakni berupa kompensasi pekerja atau buruh saat berakhirnya PKWT.

"Ini tambahan baru yang tidak dikenal di UU Nomor 13 Tahun 2003," tuturnya, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (7/10).

Ida menyebutkan, banyak distorsi informasi yang beredar di masyarakat mengenai klaster ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya terkait PKWT.

Syarat-syarat perlindungan hak pekerja/ buruh alih daya (outsourcing) juga masih tetap dipertahankan. Dalam UU Cipta Kerja, Ida menambahkan, pemerintah turut memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja/ buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang objek pekerjaan masih ada.

Ketentuan tersebut, kata Ida, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27 Tahun 2011 yang menjadi salah satu pertimbangan penyusunan cluster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. "Jadi, kami benar-benar mematuhi apa yang sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Ida.

Perlindungan lain yang disebutkan Ida, pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan alih daya melalui UU Cipta Kerja. Hal ini dilakukan dengan mensyaratkan perizinan perusahaan tersebut untuk terintegrasi dalam Online Single Submission (OSS). Ketentuan tersebut dilakukan agar pemerintah dapat memonitoring terhadap perusahaan.

Ida menambahkan, distorsi lain yang juga banyak terjadi adalah ketentuan mengenai waktu kerja dan istirahat. Ia memastikan, hal ini tetap diatur sebagaimana UU Nomor 13/2003 yang ditambah dengan ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan istirahat pada sektor usaha maupun pekerjaan tertentu.

Menurut Ida, tambahan ketentuan ini dilakukan sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap tuntutan perlindungan bagi pekerja/ buruh dalam bentuk hubungan kerja dan sektor-sektor terkait ekonomi digital. Secara umum, Ida menekankan, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja dimaksudkan untuk  memberikan penguatan perlindungan kepada tenaga kerja.

"Regulasi ini juga diarahkan guna meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja maupun buruh dalam mendukung ekosistem investasi," katanya.

infografis aturan tenaga kerja dalam UU cipta kerja - (republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler