Jokowi Menyebut 9 Hoaks Penyebab Aksi Penolakan UU Ciptaker

Menurut Jokowi hoaks inilah yang menyebabkan adanya aksi penolakan.

Abdan Syakura_Republika
Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan wartawan saat peresmian Terowongan Air Nanjung di Margaasih, Kabupaten Bandung, Rabu (29/1). Presiden Jokowi meresmikan terowongan air nanjung yang terdiri dari dua tunnel dengan panjang masing-masing 230 meter dan diameter 8 meter yang memiliki fungsi untuk memperlancar aliran air di hulu Sungai Citarum sehingga diharapkan mampu mengurangi banjir di kawasan Bandung Selatan
Rep: Sapto Andika Candra Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar konferensi pers 'dadakan' tentang isu UU Cipta Kerja di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (9/10) petang. Keterangan pers ini dilakukan setelah pada pagi harinya, Jokowi mengadakan rapat terbatas secara virtual yang dihadiri para menteri dan seluruh gubernur se-Indonesia.

Dalam penjelasannya, Jokowi berkali-kali menampik beberapa hal yang ia sebut sebagai hoaks atau berita bohong seputar UU Ciptaker. Menurut Jokowi, hoaks inilah, yang membangun disinformasi di tengah masyarakat dan menyulut meledaknya aksi unjuk rasa pada beberapa hari belakangan.


Total, tujuh kali Presiden Jokowi menyebut 'tidak benar' sepanjang pidatonya. "Saya melihat unjuk rasa penolakan UU Ciptaker yang pada dasarnya dilatarbelakangi disinformasi mengenai substansi UU ini dan hoaks di media sosial," ujar Jokowi, Jumat (9/10).

Hoaks pertama yang beredar, Jokowi menyebutkan, adalah informasi bahwa UU Ciptaker menghapus Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP). Menurutnya, informasi tersebut tidaklah benar. "Faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada," kata Jokowi.

Hoaks kedua yang diklarifikasi Jokowi adalah kabar bahwa upah minimum dihitung per jam. Jokowi menegaskan, hal ini juga tidak benar. Ia menyebutkan bahwa tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang, yakni upah tetap bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.

Hoaks ketiga menurut Jokowi, kabar yang menyebut semua cuti, termasuk cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, hingga cuti melahirkan dihapuskan dan tidak ada kompensasinya. "Saya tegasnya ini juga tidak benar, hak cuti tetap ada dan dijamin," ujar Jokowi.

Disinformasi keempat yang disebut Jokowi menyebar adalah kabar bahwa perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak. Ia pun menegaskan informasi ini juga tidak benar. Yang benar, katanya, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.

Hoaks kelima yang disebut Jokowi adalah informasi bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Menurutnya, justru jaminan sosial tetap ada. Hoaks selajutnya, bahwa UU Ciptaker menghapus analisis dampak lingkungan (Amdal) bagi industri. Ia menyebutkan, studi Amdal yang ketat tetap ada bagi industri besar. Sedangkan bagi UMKM, lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.

Hoaks ketujuh yang disebut Jokowi, kabar bahwa UU Cipta Kerja mendorong komersialisasi pendidikan. Menurutnya ini juga tidak benar. Jokowi mengklarifikasi bahwa pengaturan pendidikan formal dalam UU Ciptaker hanyalah untuk kawasan ekonomi khusus (KEK).

"Sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur dalam UU Cipta Kerja ini apalagi perizinan di pondok pesantren, tidak diatur sama sekali dalam UU Cipta Kerja dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku," ujar Jokowi.

Informasi yang melenceng selanjutnya adalah penting-tidaknya keberadaan bank tanah. Jokowi menyebutkan bahwa bank tanah justru diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan sosial, dan pemerataan ekonomi.

Bank tanah, menurut Jokowi, juga berfungsi untuk konsolidasi lahan dan reforma agraria. Ia menilai bahwa keberadaan bank tanah sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilihan lahan dan tanah. "Dan kita selama ini kita tidak memiliki bank tanah," ujarnya.

Hoaks kesembilan yang disebut Jokowi adalah kabar bahwa UU Cipta Kerja mengatur resentralisasi kewenangan pemerintah daerah ke pusat. Baginya, hal itu salah. Menurutnya, perizinan berusaha dan kewenangannya tetap dilakukan pemerintah daerah sesuai dengan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pemerintah pusat. Penetapan NSPK ini nanti akan diatur dalam PP atau peraturan pemerintah.

"Saya tegaskan juga UU Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, tidak, tidak ada," katanya. Selain itu, Jokowi juga menyebutkan bahwa kewenangan perizinan untuk non-perizinan berusaha tetap berada di Pemda. Artinya, tidak ada perubahan dari aturan yang lama.

"Bahkan kita melakukan penyederhanaan, melakukan standarisasi jenis dan prosedur berusaha di daerah. Perizinan di daerah diberikan batas waktu," ujar Jokowi. Di luar seluruh klarifikasi yang disampaikan Jokowi sore ini, sayangnya draf UU Cipta Kerja yang sudah diketok palu belum bisa diakses publik. Badan Legislasi DPR berdalih bahwa UU Cipta Kerja yang sudah disahkan pada Senin (5/10) masih dirapikan dan sedang dimintakan tanda tangan Presiden Jokowi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler