Nikahi Perawan Lebih Utama, Siapa dan Apa Kriterianya?
Rasulullah SAW menganjurkan menikahi gadis yang masih perawan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Keperawanan adalah sesuatu yang paling berharga bagi seorang perempuan menurut Islam. Setiap perempuan tak boleh mengobral keperawanannya, karena menjaganya merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditawar.
Rasulullah SAW begitu bangga kepada perempuan-perempuan yang masih (gadis) perawan. Maka dari itu beliau menganjurkan agar umatnya dari kaum laki-laki menikahi wanita yang masih gadis saja.
عن عتبة بن عويم قال: قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم: "عليكم بالأبكار، فإنهن أعذب أفواهاً، وأنتق أرحاماً، وأرضى باليسير"
"Hendaklah kalian menikah dengan gadis (perawan) karena mereka lebih segar baunya, lebih banyak anaknya (subur) dan lebih rela dengan yang sedikit."
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) KH Mahbub Maafi dalam bukunya. "Tanya Jawab Fiqih Sehari-hari" menjelaskan siapa perempuan yang dikategorikan sebagai perawan itu. Kata dia perawan adalah perempuan yang keperawanannya atau selaput darahnya masih utuh.
Hal ini sebagaimana disinggung al-Haramain al-Juwaini dalam kitab Nihayat al-Mathalab fi Dirayah al-Madzhab. Menurutnya, keperawanan itu menggambarkan atau mengendalikan tentang selaput dara atau hymen.
Setidaknya ada dua katagori hal-hal yang bisa menyebabkan keperawanan itu hilang. Kategori pertama, hilangnya keperawanan karena hubungan badan. Hubungan badan dalam konteks ini meliputi hubungan badan yang halal yang haram atau yang syubhat (wathi syubhah).
"Dalam hal ini perempuan yang melakukan hubungan badan, baik hubungan badan yang halal atau yang tidak halal statusnya adalah bukan perawan (tsayyib)," katanya.
Katagori kedua hilangnya keperawanan di luar hubungan badan. Misalnya seorang perempuan bisa hilang keperawanan telah melakukan lompatan, mamsukan jari-jarinya ke dalam kemaluannya, atau bisa juga karena terlalu lama melajang. Dalam kasus ini, al-Haramain al-Juwaini menghadirkan dua pendapat.
Pendapat pertama ia masuk dalam kategori tidak perawan karena hilangnya keperawanannya. Pendapat kedua mengatakan bahwa ia masih masuk kategori sebagai perawan karena faktanya ia tidak berhubungan dengan laki-laki.
Perbedaan antara perempuan yang masih perawan dan perempuan yang sudah tidak perawan ini tentunya berimplikasi status yang melekat pada ke duanya. Misalnya dalam hal menikah, perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak atas dirinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا.
"Perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak dengan dirinya dibanding walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izinnya, sedangkan izinya adalah diamnya." (HR Muslim)
Muhyiddin Syarf An-Nawawi menjelaskan bahwa kata ahaqqu (lebih berhak) dalam hadits tersebut mengendalikan adanya persekutuan dalam hak. Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama memiliki hak.
Perempuan memiliki hak atas dirinya dalal menentukan pasangan hidupnya, sedangkan wali memiliki hak untuk menikahkannya. Namun, hak perempuan tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan dari pada walinya.
Akibatnya, apabila terjadi perselisihan dalam memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan. Misalnya, pihak wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini tidak boleh dipaksa.
Atau sebaiknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya yang sekufu tapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini boleh boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang menikahkannya.