Istri Lebih Pintar dari Suami, Siapa Pantas Pimpin Keluarga?
Islam memberikan panduan saling menghormati antara suami dan istri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Budaya patriarki umumnya ‘mengesampingkan’ peran serta kapasitas perempuan dalam tatanan sosial. Namun demikian, bukan berarti budaya tersebut selalu berkonotasi negatif atau tidak juga bernafaskan positif.
Misalnya, salah satu hal yang dianggap tabu dalam budaya patriarki adalah apabila istri lebih pintar dari suami, maka hal itu dianggap akan menjadi riak dalam rumah tangga. Istri yang pintar atau lebih cerdas dibandingkan suaminya dianggap akan ‘merebut’ kepemimpinan dalam rumah tangga.
Lantas seperti apa pandangan agama akan hal ini? Bukankah menjadi pintar dan cerdas merupakan anjuran yang kerap digaungkan oleh Islam? Lalu, adakah batasan mengenai cerdas itu sendiri bagi perempuan?
Dalam konteks derajat manusia di sisi Allah SWT, parameter yang digunakan adalah iman serta ketakwaan seorang hamba. Derajat tak ditentukan dari status sosial, jabatan, apalagi jenis kelamin seseorang. Hal ini sebagaimana yang diabadikan di dalam Alquran. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Ya ayyuhannasu inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita’arafu inna akramakum indallahi atqakum innallaha alimun khabirun.”
Yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, serta menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,”.
Dalam tafsir Alquran Al-Azhim, Ibnu Katsir mejelaskan bahwa ketakwaan memang tidak dilihat dari derajat manusia di sisi manusia. Atau dilihat dari keturunan, suku, serta latar belakang diri (termasuk jenis kelamin). Kemuliaan atau derajat seseorang di sisi Allah hanya ditentukan dari ketakwaannya.
Sedangkan dalam konteks rumah tangga, mayoritas ulama sepakat bahwa laki-laki adalah pemimpin di dalamnya. Meski demikian, posisi tersebut bukan menjadi argumentatif yang mendiskreditkan peran istri di dalam rumah tangga. Sebab kolaborasi antara suami dengan istri sama-sama penting dan dibutuhkan.
Suami membutuhkan peran istri, begitupun sebaliknya. Maka ketika peran keduanya dibutuhkan, baik suami maupun istri seyogianya harus berkolaborasi mewujudkan kehidupan yang harmonis dengan kesalingan satu sama lain.
Ruang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan pun tersedia dalam aspek rumah tangga dengan kesalingan ini.
Lalu apakah salah jika seorang istri lebih pintar ketimbang suaminya? Tentu saja jawabannya tidak. Jika seorang istri lebih pintar, lebih cerdas, atau lebih menonjol di lingkup sosialnya, maka bukan berarti yang bersangkutan menjadi salah.
Hal ini misalnya dicontohkan Aisyah. Istri Nabi yang satu ini memiliki kecerdasan yang luar biasa, sehingga salah satu alasan Nabi menikahkannya adalah untuk regenerasi Islam yang kuat dan matang secara pemikiran. Dari Aisyah pula, khazanah Islam semakin komplit sebab beliau banyak meriwayatkan hadis yang seluruhnya otentik.
Namun, jika kepintaran atau kecerdasan istri yang melebihi suaminya itu menjadi ajang pembunuhan karakter, menimbulkan kesombongan, atau hal-hal yang mudharat yang mengganggu keharmonisan, maka jelas hal itu dilarang. Nabi SAW bersabda:
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم :... الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ...
“Al-Muslimu akhul-Muslimi la yazhlimuhu wa la yakhdzuluhu wa la yukadzibuhu wa la yahqiruhu.”
Yang artinya: “Muslim dengan Muslim lainnya adalah saudara, tidak boleh saling menzalimi, mencibir, mendustakan, dan merendahkan.”
Maka jika ada kesombongan akan ilmu yang dimiliki istri terhadap suami ini terjadi, Islam pun menawarkan solusi. Solusinya bukan lantas memerintahkan istri untuk berhenti belajar, namun istri diperintahkan kembali untuk bermuhasabah. Mengevaluasi diri, mendekatkan diri kepada Ilahi, serta mempertanyakan kembali esensi dan hakikat dari menuntut ilmu.
Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dijelaskan, jika merendahkan saja dianggap buruk dan jahat, apalagi tindakan yang menodai martabat dan harga diri. Merusak martabat, melukai jiwa, hingga merusak harta seseorang pun dilarang dalam Islam.
Adapun demikian bagi seorang suami yang merasa istrinya lebih pintar secara akademik darinya, maka dianjurkan untuk bermuhasabah juga. Kemudian menjadikan itu motivasi untuk tidak berhenti belajar tentang kebaikan dan ilmu Allah yang luas. Keduanya dianjurkan untuk saling nasihat menasihati.