Penyidik Kejakgung tak Temukan Bukti Suap Andi Irfan ke MA
Penyidik Kejakgung tak temukan bukti suap Andi Irfan Jaya ke MA.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAM Pidsus Kejakgung) Febrie Adriansyah mengatakan, tim penyidikannya tak menemukan bukti adanya penyuapan hakim dalam skandal fatwa terpidana Djoko Tjandra. Untuk itu, Menurutnya dugaan perbuatan pidana pemberian, dan janji ke oknum di Mahkamah Agung (MA) yang semula dituduhkan kepada tersangka Andi Irfan Jaya, tak dapat dipertahankan.
Febrie mengatakan, sebab itu, penyidikannya mencabut rencana penerapan Pasal 6 ayat (1) a UU Tipikor 31/1999-20/2001 terhadap Andi Irfan. "Tidak ada bukti penyuapan (kepada hakim) itu," ujar Febrie saat ditemui singkat di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, Kamis (15/10).
Febrie mengungkapkan, terhadap Andi Irfan, saat ini, penyidik masih fokus pada pemberkasan perkara untuk pelimpahan tahap dua ke jaksa penuntutan untuk diteliti sebelum disorongkan ke sidang pendakwaan. Menurutnya, bukti perbuatan yang menguatkan sangkaan, penyidikannya tetap mengandalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Tipikor.
"Pasal 6 kita turunkan. Dia (Andi Irfan) masuk ke pasal permufakatan jahat (untuk melakukan korupsi)," katanya Febrie.
Sebelumnya (14/10) malam, Febrie menerangkan, pencabutan pasal suap, gratifikasi kepada hakim yang dituduhkan kepada Andi Irfan, dicabut dari rencana dakwaan, karena penyidiknya tak menemukan bukti selama pemeriksaan. Andi Irfan, salah satu tersangka suap, dan gratifikasi, serta permufakatan jahat terkait Djoko Tjandra.
Politikus Nasdem itu dituduh menjadi perantara penerimaan suap yang diterima jaksa Pinangki Sirna Malasari senilai 500 ribu dolar AS (7,5 miliar). Uang tersebut, sebagai panjar terkait pengurusan fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra saat masih buronan. Andi Irfan, bersama Pinangki yang menyusun rencana upaya penerbitan fatwa tersebut, dengan mengajukan proposal action plan yang nilainya sebesar 10 juta dolar (Rp 150 miliar).
Pinangki, kini sudah diajukan ke persidangan. Sementara Andi Irfan, masih dalam penahanan untuk pemberkasan dakwaan. Sedangkan Djoko Tjandra, selaku pemberi suap, juga tinggal menunggu untuk pelimpahan ke persidangan. Ketiga tersangka tersebut, saat ditetapkan sebagai tersangka di JAM Pidsus, dikenakan sangkaan pasal terkait suap, dan gratifikasi, serta permufakatan jahat untuk melakukan korupsi dalam Pasal 5, dan Pasal 15 UU Tipikor.
Namun, terhadap Andi Irfan, dalam rilis resmi Rabu (2/9), menjadi satu-satunya tersangka yang dijerat menggunakan Pasal 6 ayat (1) a. Dalam dakwaan Pinangki yang dibacakan terbuka di PN Tipikor (23/9) menyebutkan terang peran Andi Irfan yang menjadi penanggungjawab berjalannya beberapa tahapan dalam action plan upaya membebaskan Djoko Tjandra lewat 'pelobian' salah satu hakim di MA. Andi Irfan, pun menjadi penanggungjawab terkait pembuatan opini positif terkait pembebasan Djoko Tjandra ke sejumlah media.
JAM Pidsus Ali Mukartono, Rabu (14/10) mengatakan, pencabutan sangkaan suap, gratifikasi kepada hakim tersebut merupakan kewenangan penyidik. Ali meyakini, tim penyidikannya di JAM Pidsus, punya alasan objektif membatalkan penerapan Pasal 6 terhadap Andi Irfan. "Kalau tidak ada buktinya, untuk apa (diterapkan). Kalau buktinya ada, ya silakan. Kalau nggak ada untuk apa juga. Mubazir nanti," ujar Ali.
Pun kata Ali, tuduhan terhadap Andi Irfan, terkait upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk terpidana Djoko Tjandra tak selaras dengan sangkaan Pasal 6 ayat (1) a. Sebab kata Ali, sangkaan tersebut menyangkut tentang pemberian, dan janji terkait penanganan perkara. Sementara fatwa MA, yang menjadi objek penyidikan dugaan suap, dan gratifikasi menurut Ali, beda defenisi dengan penanganan perkara.
"Fatwa MA itu bukan perkara. (Secara) materinya, enggak," jelas Ali.