Pengamat Militer: Prajurit LGBT Bisa Dipecat
TNI diimbau untuk menggali lebih dalam soal orientasi seksual calon prajurit.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Personel TNI yang memiliki orientasi seksual lesbian, gay, biseksual, dan transgeder (LGBT) dapat dipecat. Itu karena sudah ada perjanjian terkait hal tersebut pada awal penerimaan antara calon prajurit dengan Markas Besar (Mabes) TNI.
"Karena kan dari awal perjanjiannya, kalau mereka dari awal sudah LGBT mereka enggak akan diterima," ujar pengamat militer dari Universitas Padjadjaran, Muradi, saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (16/10).
Dia menjelaskan, calon prajurit yang berorientasi seksual LGBT itu tidak akan diterima karena di Indonesia tidak mengenal orientasi seks lain kecuali perempuan menyukai laki-laki dan laki-laki menyukai perempuan. Karena itu, dia menilai, pemecatan terhadap anggota yang terbukti LGBT bisa saja dilakukan karena tidak taat pada perjanjian awal.
"Tidak ada laki-laki suka laki-laki atau perempuan suka perempuan atau berkelamin ganda. Kita tidak kenal itu. Maka saya bilang kalau mau dipecat ya wajar. Kenapa? Karena dari awal mereka sudah ada perjanjian surat pernyataan dan sebagainya," kata dia.
Dia menerangkan, ada dua kemungkinan seorang prajurit memiliki orientasi seksual LGBT. Pertama, pada saat tes terkait orientasi seksual dalam proses penerimaan tidak digali secara serius terhadap calon prajurit yang bersangkutan.
Kedua, bisa jadi karena pergaulan. Menurut dia, secara normatif orientasi seksual yang berbeda bisa dipengaruhi oleh pergaulan, di antaranya bisa karena pernah melihat orang melakukan perilaku tersebut, karena pernah diperlakukan tidak senonoh saat masi kecil, dan lainnya.
"(Bisa seperti itu karena) pernah dia melihat orang melakukan seperti itu atau pernah diperlakukan tidak senonoh waktu kecil, sampai kemudian dia sudah besar dan jadi anggota," kata dia.
Namun, Muradi mengatakan, untuk ke depan, TNI sekiranya dapat mempertimbangkan soal orientasi seksual itu tidak hanya seperti saat ini saja. Ada sejumlah alasan yang ia sebutkan dapat dipikirkan untuk mempertimbangkan hal tersebut, di antaranya karena model peperangan yang tak lagi konvensional.
"Model peperangan kita tidak lagi konvensional. Orang model kaya saya nggak bisa misalnya, yang orinetasi seks tunggal, melakukan tindakan yang jauh di luar itu. Makanya kemudian rekruitmennya tidak normatif," ujar Muradi.
Peperangan dewasa ini, kata dia, sudah masuk ke generasi berikutnya, dengan siber dan lain sebagainya. Menurut dia, seseorang tidak harus berorientasi seks normal ketika hendak menjadi prajurit asalkan memiliki keahlian-keahlian sesuai bidang yang diperlukan di era peperangan seperti itu.
"Karena banyak orang biasanya tidak harus orientasi seks normal tapi dia misalnya punya yang lain dengan asumsi bahwa dia punya keahlian yang lain. Makanya di masa depan itu peperangan bukan lagi konvensional, tapi peperangannyg sifatnya sudah generasi kelima dan keenam. Sudah siber dan sebagainya," tutur Muradi.
Alasan kedua, kata dia, karena peperangan tak lagi konvensional, maka orang menjadi cenderung tidak lagi tertarik menjadi tentara. Fenomena itu ia sebut terjadi di banyak negara, bahkan terjadi pula di negara-negara Amerika dan Eropa. Menjadi tentara adalah pilihan terakhir seseorang.
"Ada tentara (di Amerika) yang punya orientasi tidak tunggal gitu. Kenapa? Karena tadi, mereka kesulitan lagi menerima orang, mencari orang jadi tentara, kecuali kalau wamil, wajib," kata dia.