Analisis Manajemen Bisnis Warung Madura, Bikin Ritel Modern Ketar-ketir

Warung Madura juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk seragam karyawan.

Republika/Prayogi
Penjaga menata minuman dingin di warung madura Anugerah di Jakarta, Jumat (10/1/2025). Warung Madura yang secara lokasi, harga, dan jam operasional (24 jam) lebih unggul dari toko modern tersebut menjadi pilihan berbelanja kebutuhan dasar warga seperti minuman botol, sembako, snack, dan produk mandi.
Rep: Eva Rianti Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perkembangan pesat Warung Madura, toko kelontong yang dioperasikan oleh pedagang asal Madura, ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor pendukung. Ada faktor menurunnya jumlah kalangan kelas menengah dalam setidaknya lima tahun belakangan yang menjadi pintu masuk bagi warung-warung kecil untuk menjadi pilihan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satunya dibuktikan dengan merebaknya Warung Madura. Tulisan ini adalah bagian dari Liputan Khusus dari Republika mengenai Warung Madura.

Baca Juga


Pakar Manajemen yang juga Managing Partner Inventure Yuswohady membeberkan hasil riset Inventure 2024 bertajuk Market Outlook 2025. Laporan itu menunjukkan korelasi antara turunnya daya beli masyarakat dengan perkembangan bisnis Warung Madura.

Jumlah kelas menengah diketahui terus mengalami penurunan sejak 2019 yang sebanyak 57,33 juta orang atau 21,45 persen menjadi 48,27 juta atau 17,44 persen pada 2023 (data Badan Pusat Statistik). Analisis LPEM UI menunjukkan dalam lima tahun terakhir, porsi konsumsi kelas menengah turun dari 41,9 persen pada 2018 menjadi 36,8 persen pada 2023, sebaliknya porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada 2018 menjadi 45,5 persen pada 2023. Di samping itu, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan bahwa proporsi pertumbuhan tabungan di bawah Rp 100 juta mengalami kelesuan.

Penurunan jumlah kelas menengah dan proporsi konsumsinya, dinilai mencerminkan potensi penurunan daya beli kelas menengah. Hal itu juga bisa dilihat dari mulainya terjadi fenomena makan tabungan (mantab).

Survei Inventure menunjukkan, 49 persen kelas menengah mengalami penurunan daya beli, yang disebabkan oleh setidaknya tiga faktor utama, yakni harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta pendapatan yang stagnan. Survei tersebut melibatkan 450 responden yang berasal dari lima kota besar meliputi Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Responden berasal dari kelas menengah milenial dan gen Z dengan metode survei wawancara langsung pada September 2024.

“Dengan turunnya kelas menengah, dari survei itu saya lihat dan simpulkan bahwa memang mereka menjadi lebih selektif dan lebih rasional untuk spending. Salah satunya adalah Warung Madura ini menjadi alternatif,” kata Yuswohady saat ditemui Tim Republika di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Survei tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 71 persen responden dari kalangan kelas menengah pernah berbelanja di Warung Madura. Ada sejumlah keunggulan dari Warung Madura sehingga menjadi pilihan bagi kalangan kelas menengah.

Menurut survei, faktor paling dominan dari keunggulan Warung Madura adalah lokasinya yang lebih dekat dan mudah dijangkau (74 persen), disusul faktor harga yang lebih murah (61 persen). Kemudian faktor menawarkan pembelian dalam bentuk kemasan eceran (52 persen), dan faktor jam operasional 24 jam non-setop (42 persen).

Mengenai kedekatan lokasi, Yuswohady menuturkan bahwa memang ekspansi Warung Madura ke lingkungan permukiman terbilang cepat, terutama di Pulau Jawa-Bali. Bahkan ekspansinya bisa dibilang mengungguli retail modern.

“Kita tahu sebelumnya Indomaret dan Alfamart kan ekspansinya luar biasa. Tapi Warung Madura ini lebih luar biasa karena dia masuk ke kampung-kampung. Sehingga kemudian dari sisi konsumen proximity atau kedekatan itu menjadi penting,” ujarnya.

Adapun mengenai harga yang lebih murah di Warung Madura, Yuswohady menuturkan hal itu karena memang biaya komponen produksi atau overhead-nya kecil dan bersifat desentralisasi dalam pengambilan harga. Berbeda dengan ritel modern yang membutuhkan overhead yang besar dengan meliputi TI dan pegawai, serta bersifat sentralisasi dalam pengambilan harga.

“Masing-masing warung diberi keleluasaan, jadi terdesentralisasi untuk mengambil harga yang terendah, enggak tersentral kayak di warung modern. Karena terdesentralisasi, itu yang menyebabkan kemudian harganya bisa lebih murah dan small denomination,” tuturnya.

Menghadirkan produk dalam bentuk eceran tak ayal jadi keunggulan pula. Sehingga Warung Madura memiliki fleksibilitas yang menjadi daya tarik. Berbeda dengan produk di ritel moden yang menjajakan produk dalam bentuk kemasan yang standar, di Warung Madura, ada kemasan-kemasan kecil dan menengah yang dijajakan kepada konsumen. Mengenai jam operasionalnya yang 24 jam non-setop, Yuswohady melihat bahwa Warung Madura telah berhasil membentuk segmen pasar yang anyar, yakni orang-orang yang beraktivitas pada malam hari.

“Warung Madura membuat satu segmen baru yang saya sebut midnight market, atau saya istilahkan Begadangers. Nature-nya begitu, jadi kalau tidak ada supply-nya atau enggak ada tokonya yang buka di malam hari, ya market enggak terbentuk,” jelasnya.

Yuswohady melanjutkan, ada beberapa faktor lainnya pula yang menjadi keunggulan Warung Madura, seperti tidak adanya pungutan parkir. Namun, faktor tersebut dinilai tidak terlalu berpengaruh. Dia menekankan faktor yang besar berpengaruh lebih kepada fleksibilitas dan sisi denominasi.

Menurut survei, mengenai jenis produk yang paling banyak diminati oleh konsumen, yang paling dominan adalah minuman botol (79 persen), disusul sembako eceran (64 persen), snack (55 persen), rokok (55 persen), toiletries (55 persen), dan tabung gas 3 kg (49 persen). Lalu bumbu dapur sachet (45 persen), minuman sachet (43 persen), obat-obat satuan (21 persen), dan mi instan (18 persen), serta pulsa elektrik (15 persen).

“Jadi yang paling gede (diminati konsumen) adalah barang-barang yang kecil, seperti minuman botol, makanan yang siap makan (snack) dan rokok. Dan itu menjadi kebiasaan mereka pada waktu terutama di malam hari, dan yang harganya kompetitif dibandingkan dengan warung ritel modern,” kata Yuswohady.


 

Tren Affordable Quality

Mengamati perkembangan bisnis Warung Madura, Yuswohady menilai ada tren bisnis yang dinamakan affordable quality. Tren tersebut dinilai sudah terjadi pada 2024 dan diprediksi akan semakin kuat pada 2025.

Affordable quality artinya brand-brand yang menghasilkan produk yang punya kualitas sama, tetapi dengan harga yang lebih affordable,” kata Yuswohady.

Lebih lanjut, Yuswohady menjelaskan bahwa sebenarnya tren tersebut dimotori awalnya oleh pemain-pemain China. Dengan market domestik yang luas, China mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas dengan harga yang affordable. Yuswohady mencontohkan, produk bermerek Xiaomi atau Huawei di bidang elektronik, BYD dan Wuling di bidang otomotif. Juga ada Tomoro dan Mixue di bidang food and beverage (F&B).

Affordable atau murah itu kaitan sama kelas menengah yang turun, tapi kualitasnya matching atau match up dengan brand-brand existing. Kalau kita kaitkan dengan Warung Madura, dari sisi kualitas produknya kan sama (dengan ritel modern), seperti Unilever, Mayora, dan seterusnya. Jadi, produknya sama, tetapi layanannya lebih bagus karena community based,” ujar dia.

Yuswohady menekankan, penentuan harga yang lebih murah (dengan kualitas yang sama) tidak terlepas dari upaya menekan biaya atau manajemen aset. Warung Madura tidak perlu mencari tempat atau lokasi yang cenderung prime, berbeda dengan ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret yang butuh lokasi prime, dengan sewa tempat yang mahal. Ia kemudian pun menyinggung kabar adanya penutupan 400 alfamart pada 2024, yang disebabkan oleh faktor harga sewa yang terus naik.

Warung Madura juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk seragam karyawan, serta kebutuhan teknologi. Sehingga ada banyak overhead yang mampu ditekan oleh bisnis Warung Madura. Di samping itu, Warung Madura pun disebut mengambil keuntungan atau margin yang tidak tinggi.

“Jadi pola ini sama dengan BYD, Wuling di Otomotif, kemudian Tomoro di kedai kopi, Mixue di es krim. Jadi ini saya lihat satu tren di mana ada pemain-pemain baru yang bisa menghasilkan kualitas produk atau kualitas servis, tetapi dengan harga yang affordable. Affordable quality ini fit dengan kondisi kelas menengah Indonesia yang lagi turun daya belinya,” jelasnya.

“Jadi, Warung Madura menurut saya adalah fenomena munculnya tren ke arah affordable quality ini,” lanjutnya.

Beras dan kebutuhan lainnya di warung madura Anugerah di Jakarta, Jumat (10/1/2025). Warung Madura yang secara lokasi, harga, dan jam operasional (24 jam) lebih unggul dari toko modern tersebut menjadi pilihan berbelanja kebutuhan dasar warga seperti minuman botol, sembako, snack, dan produk mandi. - (Republika/Prayogi)

Tantangan dan Keberlanjutan Bisnis

Yuswohady menyebut bahwa bisnis Warung Madura menganut gaya manajemen kearifan lokal. Dalam perwujudannya, Warung Madura tidak melulu soal bisnis, tapi juga menerapkan kekuatan sosial atau gotong royong. Ia mencontohkan, berdasarkan cerita yang diperolehnya, sejumlah pemilik Warung Madura, meskipun buka 24 jam non-setop, sesekali mereka bisa menutup warung barang satu atau dua jam khusus untuk melayat atau tahlilan pelanggan mereka yang meninggal dunia. Itu dinilai sebagai bentuk community based yang kental dengan nilai kearifan lokal.

Menurut pandangannya, dengan gaya manajemen kearifan lokal itu, Warung Madura bisa menyaingi manajemen yang berkembang di dunia Barat.

“Saya justru melihat Warung Madura ini sustainable. Karena roh dari manajemen kearifan lokal ini adalah pendekatan yang berbeda dengan pendekatan manajemen barat,” kata dia.

Yuswohady menjelaskan, karakteristik manajemen Barat adalah rasional, profesional, dan transaksional. Adapun manajemen kearifan lokal lebih berlandaskan pada trust. Contohnya, dalam manajemen Barat, TI merupakan paling penting dalam pengembangan bisnis supaya mampu mengontrol keberjalanan bisnis. Sementara di Warung Madura, tidak perlu menggunakan TI, tapi bisa mengantisipasi terjadinya fraud atau kecurangan dalam laporan keuangan.

“Kalau di transaksional yang di manajemen Barat, itu (fraud) bisa terjadi. Di Warung Madura tanpa catatan (TI), tapi tidak terjadi fraud atau pegawai yang nakal. Kenapa? Karena adanya interaksi sosial, kedekatan sosial. Konon katanya orang yang mengelola Warung Madura harus suami istri misalnya, dan harus orang Madura salah satunya, ini tujuannya bukan masalah eksklusif Madura, tapi untuk menciptakan trust, sehingga fraud tidak terjadi. Ini di dalam manajemen rasional Barat tidak ada, dan itu sulit ditiru oleh manajemen Barat,” ungkapnya.

Yuswohady mengaku yakin bahwa Warung Madura bisa berkelanjutan karena adanya ikatan sosial, kedekatan sosial, dan interaksi sosial yang terbangun di dalam iklim bisnisnya. Namun, di samping itu, kondisi itu juga menjadi tantangan ke depan.

“Tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan kearifan lokal itu, trust itu. Trust itu menciptakan efisiensi, kecepatan, dan semacamnya. Itu di dalam ilmu marketing namanya diferensiasi. Diferensiasi itu sesuatu rantai aktivitas yang sulit ditiru oleh pesaing. Kalau pakai teknologi, teknologi itu asal punya duit gampang ditiru, tapi kalau social capital, itu bukan masalah duit,” ujar dia.

Suasana warung Mutiara Madura di Bogor, Senin (13/1/2025). - (Republika/Prayogi)

Ia menekankan bahwa social capital dalam bisnis Warung Madura terbentuk puluhan bahkan ratusan tahun, dari tradisi yang berkembang dan jejaring di antara diaspora Madura.

“Makanya saya lihat manajemen model Madura ini aset nasional. Yang justru mestinya kalau ada model Padang, Lamongan, Tegal, dan lain-lain, jadi jangan dilihat ini sebagai sesuatu yang rasis. Saya lihat ini dari sisi manajemen malah suatu kekayaan budaya, terutama dalam konteks manajemen, yang mestinya kita bisa tumbuhkan,” jelasnya.

Menurut Yuswohady, jika Warung Madura dapat konsisten dengan kekuatan social capital-nya dan keunggulan dari segi harga dan layanan, bisnis tersebut tidak akan mati. Sekalipun jika pergerakan konsumsi atau daya beli masyarakat kembali naik.

“Kalaupun nanti daya beli naik, saya kira juga enggak banyak pengaruh, artinya orang tetap preferkepada affordable quality,” kata dia.

Yuswohady menambahkan, dengan bangkitnya eksistensi Warung Madura ini, menjadi semacam model bagi UKM-UKM di Indonesia untuk kian optimistis dalam mengembangkan bisnis dengan berlandaskan kepada kekerabatan kedaerahan dan semangat gotong-royong.

“Dengan melihat model Warung Madura ini, mestinya UKM-UKM kita juga mulai sadar bahwa ternyata bangun bisnis itu enggak mesti individual, rasional, dan kapitalistik seperti model Barat, tapi ada unsur-unsur kegotong-royongan,” ujarnya.

Yuswohady menekankan bahwa Warung Madura pandai mengambil peluang di tengah kondisi atau fenomena turunnya daya beli masyarakat kelas menengah. Ke depan, Warung Madura diprediksi bisa semakin besar dan menjadi role model bagi manajemen bisnis dalam negeri.

“Secara umum saya melihat bahwa Warung Madura akan menjadi role model manajemen bisnis ala Indonesia yang berbeda dengan manajemen bisnis ala Barat. Warung Madura konteksnya dilandasi oleh kedaerahan yang sama, menurut saya ini aset kita untuk mengembangkan model bisnis atau model manajemen gaya Indonesia,” tutupnya. 

Timeline warung madura. - (Republika.co.id)

Tantangan Pertumbuhan Warung Madura

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini berpendapat bahwa bisnis Warung Madura diprediksi akan terus berkembang dan akan tumbuh berkelanjutan sampai kapanpun. Namun, ada satu tantangan besar ke depan yang dihadapi oleh warung-warung kelontong seperti Warung Madura, yakni tingginya ekspansi konglomerasi ritel modern.

“Sebenarnya yang sudah berkembang lebih dahulu adalah jaringan ritel-ritel seperti Alfamart Indomaret dan lain-lain itu lebih besar. Itu banyak sekali mencerabut usaha-usaha kecil,” kata Didik saat ditemui tim Republika di Kantor Indef.

Didik mengatakan, perkembangan bisnis ritel modern dalam perkembangannya bahkan bisa membawa pemiliknya masuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia. Tapi pada saat yang sama, bisnis ritel modern juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

“Fenomena Warung Madura itu menurut saya sekarang sih masih belum bisa mengimbangi (ritel modern), tapi itu fenomena yang bagus dimana masyarakat kecil punya inisiasi untuk mengembangkan UKM, dan direspons (pasar),” ungkap Didik.

Didik menekankan bahwa persaingan dengan ritel modern menjadi tantangan yang besar bagi perkembangan bisnis Warung Madura di Indonesia. Sebab, ritel-ritel modern yang besar memiliki lebih banyak modal untuk melakukan ekspansi bisnis, dibandingkan dengan warung-warung kecil seperti Warung Madura, dengan kemampuan pembiayaan yang lebih minim.

“(Tantangannya) ekspansi konglomerasi yang besar, itu kan ancaman, jadi tidak boleh satu wilayah itu dimonopoli oleh modal besar. Di negara lain, seperti Skandinavia tidak boleh toko-toko modern buka di bawah jam 10.00 pagi. Pagi-pagi itu miliknya warung-warung kecil. Nah, kita biasakan seperti itu,” terangnya.

Warga berbelanja di warung Mutiara Madura di Bogor, Senin (13/1/2025). Warung Madura yang secara lokasi, harga, dan jam operasional (24 jam) lebih unggul dari toko modern tersebut menjadi pilihan berbelanja kebutuhan dasar warga seperti minuman botol, sembako, snack, dan produk mandi. - (Republika/Prayogi)

Perlu Dukungan Pemerintah

Didik mengatakan, hingga saat ini belum ada riset khusus yang mencatatkan pertumbuhan bisnis Warung Madura secara spesifik, namun menurut analisisnya dengan melihat berbagai pemberitaan dan pengamatan, Warung Madura potensial untuk terus dikembangkan karena memiliki ceruk pasar tersendiri dengan keunggulan yang dimiliki, seperti dari segi harga, kedekatan (proximity), dan jam operasional. Warung Madura dinilai sebagai inisiatif masyarakat yang positif dan harus ditumbuhkan. Jika tidak, pasar hanya akan dimonopoli pengusaha-pengusaha besar.

Peluang pertumbuhan Warung Madura kian besar, mengingat besarnya jumlah penduduk di Indonesia dengan lebih dari 270 juta penduduk di dalamnya. Sehingga Warung Madura perlu mengambil kesempatan itu dalam berekspansi, dengan menciptakan inovasi-inovasi.

“Perdagangan sebenarnya tidak terbatas. Dan Warung Madura itu adalah temuan yang hebat, bagus, dan harus berkembang, diberi kesempatan, pemerintah daerah harus membantu mereka,” ujar Didik.

Didik mengungkapkan bentuk bantuan atau dukungan dari pemerintah bisa berbagai macam, setidaknya tiga hal. Pertama, menyediakan tempat yang strategis. Menurutnya, pemerintah sebaiknya membuat aturan yang jelas mengenai penempatan lokasi bisnis ritel.

“Saya mungkin harus memberikan masukan bahwa tidak boleh warung-warung yang ritel modern besar itu masuk ke kampung-kampung. Dia tuh mestinya ada di gedung-gedung, perumahan-perumahan mewah, kompleks-kompleks yang elite. Sedangkan di kampung-kampung yang sudah banyak warung, sebaiknya dicegah. Karena kan kesempatan kerja terbatas, dan kalau UKM itu hilang berarti dia (ritel modern) menyingkirkan UKM itu,” tuturnya.

Selain itu, kesempatan memberikan tempat juga bisa diberikan kepada warung-warung kecil untuk menempati sebagian kecil ruang di pusat-pusat perbelanjaan atau mal. Misalnya saja dibikin aturan bahwa di setiap mal-mal besar diberikan kuota sebesar 20 persen untuk warung-warung seperti Warung Madura. Dengan demikian, ritel besar maupun kecil akan bisa tumbuh bersama.

Kedua, membantu dari segi manajemen keuangan. Didik menyebut, pemerintah daerah bisa melakukan kerja sama dengan universitas-universitas yang ada di daerahnya untuk memberikan pengetahuan mengenai manajemen finansial bagi para pemilik Warung Madura.

“Ketiga, keuangan. Perbankan perlu melihat dengan bagus bahwa ini (usaha Warung Madura) menguntungkan, sehingga di-support,” ujar dia.

“Jadi tiga hal, akses kepada pasar, keuangan lewat perbankan di-support jangan dihambat-hambat, dan bantu skill manajemen,” tegasnya.

Pemilik warung madura Rini (27) menunjukkan baju jersey warung madura yang dibeli melalui media sosial di Jakarta, Jumat (10/1/2025). - (Republika/Prayogi)

Dengan memberikan sejumlah dukungan tersebut, diharapkan Warung Madura bisa berekspansi, bahkan memperluas jaringan hingga ke luar Jawa, berhubung hingga saat ini perkembangannya masih tersentralisasi di Pulau Jawa.

Didik optimistis, ke depan, bisnis Warung Madura akan terus berkembang, bahkan tidak lekang oleh waktu alias long lasting. Hal itu seiring dengan adanya dukungan dari pemerintah dalam memberikan kesempatan lebih luas bagi para pelaku bisnis Warung Madura dengan menciptakan keadilan dalam iklim perdagangan, sehingga tercipta kestabilan politik pula.

“Sektor informal kan hampir 2/3 dari ekonomi kita, kesempatan kerja (besar), jadi akan tumbuh terus dan akan tetap banyak. Meskipun yang modern ada tapi yang kecil masih banyak. Tapi modern yang ekspansi besar-besaran itu perlu dibatasi,” tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler