Duterte Siap Dituntut Atas Pembunuhan dalam Berantas Narkoba
Presiden Rodrigo Duterte siap bertanggung jawab atas tewasnya ribuan orang
REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan siap bertanggung jawab atas banyaknya pembunuhan yang dilakukan pasukannya dalam operasi anti-narkoba. Duterte mengaku siap menghadapi dakwaan yang dapat membuatnya dijebloskan ke penjara.
"Jika ada pembunuhan di sana, saya akan mengatakan bahwa saya adalah orangnya. Anda dapat meminta pertanggungjawaban saya atas apa pun, kematian apa pun yang terjadi dalam pelaksanaan perang narkoba," kata Duterte dalam pidatonya yang disiarkan televisi pada Senin (19/10) malam.
Menurut Duterte jika ada warganya yang terbunuh dalam operasi, itu karena dia geram dengan narkoba. "Jika itu yang saya katakan, bawa saya ke pengadilan untuk dipenjara. Saya tidak punya masalah. Jika saya melayani negara saya dengan masuk penjara, dengan senang hati," ujarnya.
Duterte masih memandang narkoba sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. "Jika ini dibiarkan terus menerus dan jika tidak ada tindakan tegas yang diambil terhadap mereka, itu akan membahayakan keamanan negara," ucapnya.
Pemerintahan Duterte mulai menggencarkan kampanye operasi anti-narkoba pada 2016. Menurut kepolisian Filipina, sudah 5.856 tersangka yang tewas dalam penggerebekan. Lebih dari 256 ribu lainnya diciduk. Data itu diragukan sejumlah organisasi hak asasi manusia (HAM). Mereka menduga jumlah korban tewas sebenarnya lebih banyak daripada yang dilaporkan.
Beberapa aktivis HAM telah berulang kali melayangkan kritik dan protes atas operasi anti-narkoba yang diluncurkan pemerintahan Duterte. Mereka meyakini terdapat banyak pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan Filipina dalam melaksanakan operasinya. Setidaknya ada dua pengaduan atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembunuhan massal tengah diperiksa jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICJ).
Jika bukti mencukupi, penyelidikan skala penuh akan dilakukan. Merespons pemeriksaan tersebut, dua tahun lalu Duterte memutuskan menarik Filipina dari ICJ.
Organisasi-organisasi HAM memandang langkah tersebut sebagai kemunduran besar dalam perjuangan negara melawan impunitas. Kendati Filipina hengkang, jaksa ICJ menyatakan pemeriksaan kasus dugaan kejahatan kemanusiaan dan pembunuhan massal akan terus berlanjut.