150 Hari Bebas Covid, Thailand Jajaki Wisata tanpa Karantina
Thailand membutuhkan turis China untuk mendongkrak perekonomiannya.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Antara
Saat sejumlah negara masih berada dalam pandemi Covid-19, Thailand menjadi salah satu negara yang berani menerima turis masuk. Bukan tanpa alasan Thailand berani membuka kembali dirinya. Thailand pasalnya sudah memasuki 150 hari tanpa kasus baru Covid-19.
Thailand pun kembali menerima kunjungan sekelompok wisatawan China sejak penerbangan komersial dilarang beroperasi. Thailand menutup diri dari pengunjung China sejak April sebagai upaya memerangi pandemi virus corona.
Sebanyak 39 wisatawan dari Shanghai itu tiba di Bangkok pada Selasa malam (21/10), menurut pernyataan wakil direktur Bandara Suvarnabhumi, Kittipong Kittikachorn. Uniknya para pengunjung tersebut tampaknya tidak terpengaruh dengan meningkatnya unjuk rasa jalanan di Ibu Kota Bangkok.
Televisi publik Thailand menunjukkan para wisatawan yang memakai masker keluar dari bandara, disambut oleh petugas dengan peralatan pelindung lengkap yang menyemprot koper mereka dengan desinfektan. Di luar, beberapa wisatawan mengenakan pelindung wajah dan sarung tangan karet saat mereka bersiap untuk naik bus ke hotel mereka.
Kedatangan para wisatawan bertepatan dengan gerakan pengunjuk rasa anti-pemerintah yang terus menentang larangan pertemuan besar, setelah pihak berwenang mengumumkan situasi darurat di Bangkok. Kerusuhan itu tidak mempengaruhi minat wisatawan untuk mengunjungi negara Asia Tenggara itu, kata Gubernur Otoritas Pariwisata Thailand Yuthasak Supasorn kepada Reuters.
"Sejauh ini tidak ada pembatalan atau pertanyaan tentang itu dan orang-orang mengikuti beritanya," katanya.
Demonstrasi yang dipimpin mahasiswa, terkadang menarik 10.000 orang, telah menduduki persimpangan-persimpangan jalan yang sibuk selama berjam-jam sebelum bubar dengan damai. Dalam satu insiden pekan lalu, meriam air digunakan untuk membubarkan para demonstran.
Negara yang bergantung pada pariwisata itu hanya mencatat 6,7 juta wisatawan asing tahun ini. Jumlahnya kurang dari seperlima jika dibandingkan rekor 39,8 juta wisatawan pada 2019.
Pemerintah melarang penerbangan komersial pada bulan April untuk mencegah Covid-19. Sebagian besar kasus baru Covid-19 adalah warga Thailand yang kembali dari luar negeri. Negara tersebut telah melaporkan total 3.700 infeksi.
Pendatang baru dengan visa khusus 90 hari harus dikarantina selama dua minggu. Rinciannya, tujuh hari di kamar hotel mereka dan tujuh hari berikutnya mereka boleh keluar selama dalam lingkungan halaman hotel. Pendatang juga harus menunjukkan tes negatif tiga kali sebelum mereka dapat bergerak bebas.
"Setelah lulus, mereka akan dapat pindah ke tujuan lain (di Thailand)," kata Menteri Pariwisata Phiphat Ratchakitprakarn di televisi Thai PBS.
Gelombang kedua yang terdiri dari 147 wisatawan dari Guangzhou, China, dijadwalkan tiba pada 26 Oktober, dengan lebih banyak lagi akan tiba bulan depan. "Musim dingin akan datang sehingga lebih banyak turis dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Korea, dan Jepang juga ingin datang mengunjungi kami sekitar waktu ini," kata Phiphat.
Thailand memang sedang mengembangkan pembicaraan dengan China untuk membentuk koridor perjalanan tanpa karantina dengan China di bulan Januari. Thailand membutuhkan perbaikan segera industri pariwisatanya.
Perjanjian dengan Beijing akan berkaca pada pembukaan terbatas wisata Thailand bagi turis asing di bulan ini. Menteri Phitphat mengatakan Thailand akan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berkategori risiko rendah Covid-19 yang membuka wisata tanpa kewajiban karantina. Dilansir dari Bloomberg, nantinya karantina akan digantikan dengan pengetesan Covid-19 dan penelusuran dengan aplikasi ponsel bagi turis China.
China memang target turis bagi Thailand. Tahun lalu sebanyak 11 juta turis China mengunjungi Thailand, mereka membawa pemasukan sekitar 17 miliar dolar AS.
Tidak mudah memang bagi Thailand untuk membuka kembali perbatasannya bagi turis. Banyak pihak yang menganggap pemerintah belum siap dengan kemungkinan gelombang kedua infeksi Covid-19. Tapi pakta dengan China bisa membuka pintu Thailand akan kedatangan turis dari negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan.
"Bisa jadi tahun baru yang indah karena musim puncak liburan ke Thailand adalah waktu yang tepat bagi turis datang," kata Phitphat. "Kebanyakan turis China hanya liburan selama sepekan, jadi kewajiban karantina dua pekan akan membuat mereka merasa sia-sia untuk liburan ke Thailand."
Phitphat mengharapkan lima juta hingga 10 juta turis akan datang ke Thailand tahun depan. Hingga tahun ini berakhir estimasinya tujuh juta turis masuk ke Thailand. Negara Gajah Putih itu memang tergolong lebih sigap menangani Covid-19 di antara negara Asia Tenggara lainnya, tapi Thailand juga kehilangan banyak akibat pandemi.
Tahun lalu, 40 juta turis yang datang menghasilkan 60 miliar dolar devisa bagi Thailand. "China punya 800 juta orang di 22 provinsi yang sudah bebas dari infeksi," kata Phitphat. "Jika kita bisa menarik satu persen saja penduduk China untuk wisata ke Thailand, itu sudah cukup banyak."
Pemerintah menargetkan bisa mengeluarkan 1.200 visa sebulan di bawah program pemulihan kembali industri wisata Thailand dalam jangka waktu lima bulan ke depan. Phitphat mengakui Thailand tidak memiliki banyak uang untuk mengdongkrak industri wisata.
"Kami harus mencari cara untuk menarik turis asing. Jika kami tidak menerima turis asing, ekonomi Thailand akan menderita kontraksi hebat."
Aksi massa yang sedang marak di Bangkok juga bisa membuat turis enggan datang. Tapi aksi massa tidak akan menghentikan pemerintah memperlunak visa.
Phitphat yakin, kesepakatan bisa tercapai. "Aksi juga tidak akan berubah jadi kerusuhan," ujar dia.