Pandangan Buya Hamka Soal Kontes Kecantikan Para Wanita

Buya Hamka mengkritik keras pelaksanaan kontes kecantikan wanita.

Reuters
Buya Hamka mengkritik keras pelaksanaan kontes kecantikan wanita. Ilustrasi kontes kecantikan
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Prof Hamka mempunyai pandangan terkait pelaksanaan kontes kecantikan yang digelar baik di tingkat lokal ataupun internasional, apapun bentuknya. Hal ini tak terlepas dari bagaimana Islam memandang dan mendudukkan kehormatan perempuan.   

Baca Juga


Dalam bukunya yang berjudul Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10), Prof Hamka menulis, “Dua puluh ekor kerbau pedati, yang sama gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati, tentu harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi, 20 orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama ‘harganya’, sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia, pribadinya.”

Menurut Hamka, pribadi bukanlah semata-mata terkait dengan kehebatan fisik. Kondisi fisik tentu sangat penting sebab seseorang sulit merealisasikan pribadinya, tanpa fisik yang sehat dan kuat. Dalam bukunya, Hamka menyebut 11 perkara yang membentuk kepribadian seseorang, yaitu (1) daya penarik, (2) cer dik, (3) timbang rasa, (4) berani, (5) bijaksana, (6) baik pandangan, (7) tahu diri, (8) kesehatan badan, (9), bijak, (10) percaya pada diri sendiri, dan (12) tenang. 

Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, Dr Daoed Joesoef, dalam memoarnya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006) tercatat sebagai seorang pengkritik keras berbagai praktik kontes kecantikan.

Ia menulis, “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai seka rang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom, aku tidak apriori antikegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara.”

Menurut Daoed Joesoef, wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya.

“Pendek kata, kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ‘meramaikan’ pesta kecantikan perempuan di forum internasional,” begitu pandangan dia.

 

*Naskah ini bagian artikel Adian Husaini yang tayang di Harian Republika 

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler