Buya Hamka, MUI, dan Fatwa Haram Perayaan Natal Bersama

Fatwa MUI ini sempat menimbulkan polemik pada era Orde Baru.

Dok. MUI
ILUSTRASI Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ketokohannya bahkan diakui bukan hanya di dalam, melainkan juga luar negeri.

Baca Juga


Dalam perjalanan hidupnya, ulama kelahiran Sumatra Barat itu pernah menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga yang menjadi titik temu organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam se-Indonesia itu didirikan pada 26 Juli 1975 di Jakarta, yakni pada masa pemerintahan presiden RI Soeharto alias era Orde Baru.

Dalam kapasitas demikian, Buya Hamka pernah mendapatkan ujian pelik. Sampai-sampai, ia memutuskan untuk mundur dari jabatan ketum MUI.

Pangkal persoalannya adalah tekanan dari pemerintah yang ingin agar MUI membatalkan fatwa tentang perayaan Natal bersama. Orde Baru saat itu tidak puas akan keputusan Buya Hamka walau ulama ini sudah menarik peredaran fatwa tersebut.

Menurut Afandi dalam artikelnya yang terbit di laman resmi Muhammadiyah.or.id, konteks peristiwa ini sesungguhnya dapat ditarik hingga 1968. Artinya, sekira 13 tahun sebelum fatwa haramnya perayaan Natal bersama bagi umat Islam ditetapkan Komisi Fatwa MUI pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401/7 Maret 1981.

Seperti dicatat Jan S Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004), pada tahun 1968 perayaan Idul Fitri dan Natal kebetulan terjadi berdekatan. Lebaran jatuh pada 1-2 Januari, sedangkan Natal pada 21-22 Desember sebelumnya.

Ihwal kebetulan ini menyebabkan beberapa instansi pemerintah menyelenggarakan dua perayaan secara serempak. Pada gilirannya, muncul fenomena semacam "parade doa" yang menampilkan pembacaan doa-doa dari berbagai perwakilan umat agama.

Bahkan, kegiatan semacam "parade doa" itu terus dilakukan dalam upacara hari-hari besar nasional. Akhirnya, banyak pihak menyuarakan kritik. Di antaranya adalah Ikatan Sarjana Muhammadiyah pada 15 Desember 1968.

“Karena acaranya adalah Idul Fitri dan Natalan, maka setelah dibuka lalu dibacakan ayat-ayat suci Alquran, lalu dibacakan pula kitab Injil oleh sang pendeta. Setelah diuraikan arti halalbihalal dan dijelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, maka berdiri pula sang pendeta menguraikan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan. Alangkah kontrasnya dan paradoksnya dua uraian yang dibawa seorang mubalig dan sang pendeta di dalam gedung saat itu,” demikian bunyi sebuah kritik yang dinukil Umar Hasyim (1978).

Baca juga: Benarkah Buya Hamka larang Muslim ucapkan selamat Natal?

Hingga berdirinya MUI pada 1975, fenomena "parade doa" masih menjadi buah bibir masyarakat, khususnya tiap menjelang Desember-Januari. Bahkan, tak jarang ketika itu acara televisi menampilkan para pejabat, yang beragama Islam, ikut menyalakan lilin dan menyanyikan lagu Natal.

Pada 1 Jumadil Awal 1401/7 Maret 1981, Komisi Fatwa MUI menetapkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama bagi umat Islam. MUI yang saat itu dipimpin Buya Hamka sepakat, mengikuti perayaan Natal bagi Muslim adalah perkara syubhat sehingga haram dilakukan.

Salah satu pimpinan MUI, KH Hasan Basri, menjelaskan bahwa fatwa itu diterbitkan guna menjaga kerukunan hidup beragama dan sekaligus memurnikan akidah masing-masing agama.

Semula, MUI belum mengumumkan secara terbuka fatwa ini. Namun, dokumen yang ada kemudian bocor ke publik usai dimuat Buletin Majelis Ulama (Nomor 3/April 1981). Terbitan yang berjumlah 300 ekslempar ini sesungguhnya hanya ditujukan bagi internal pengurus MUI. Akibatnya, banyak media massa nasional yang mengutipnya.

Hanya berselang sehari setelah "bocornya" fatwa itu, MUI mengeluarkan surat keputusan tertanggal 30 April 1981. Isinya mencabut peredaran fatwa itu. SK ini ditandatangani Buya Hamka selaku ketua umum MUI.

Infografis 6 Hal tentang Yesus (Nabi Isa) dalam Islam - (Republika.co.id)

Bila dibaca saksama, SK tersebut memuat semacam klarifikasi bahwa MUI tetap membolehkan umat Islam untuk memenuhi undangan perayaan hari besar agama lain. Yang dilarang ialah bahwa Muslim mengikuti ibadah agama lain, semisal misa, kebaktian dan sejenisnya.

"Bagi umat Muslim, tidak ada halangan untuk hadir semata-mata menghormati undangan pemeluk agama lain yang kegiatannya bersifat seremonial, bukan ritual," tulis Afandi mengomentari SK MUI tersebut.

 

Mengapa "secepat" itu MUI memberikan klarifikasi? Pasalnya, menteri agama RI saat itu, Letjen TNI (Purn) Alamsjah Ratu Prawiranegara memberikan reaksi keras terhadap fatwa pelarangan perayaan Natal bersama. Dalam perspektif penguasa, fatwa ini tidak mendukung pembinaan kerukunan umat beragama. Padahal, di lapangan, umumnya kaum Muslimin mendukung fatwa MUI ini.

"Merasa bertanggung jawab, Buya Hamka lalu meletakkan jabatan ketua umum MUI pada 18 Mei 1981, sekaligus menarik fatwa," tulis Afandi.

Walau ditarik, nilai fatwa MUI tentang pelarangan perayaan Natal bersama tetaplah sah dan benar. Dalam majalah Panji Masyarakat edisi 20 Mei 1981, Hamka mengakui bahwa saat itu memang ada kesalahpahaman antara MUI dengan Kementerian Agama (Kemenag) soal bocornya fatwa itu.

Lantaran adanya miss-komunikasi itu, Hamka memutuskan untuk mundur dari jabatan ketum MUI. Bagaimanapun, fatwa tersebut tetaplah sebuah keputusan yang benar. Apalagi, ini dibuat bukan oleh ketum MUI seorang, melainkan berdasarkan musyawarah dengan ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam tingkat nasional, semisal Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Dakwah Islam Golkar.

Pada 25 Agustus 1981, pemerintah menggelar Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Hasilnya, para peserta menyepakati "jalan tengah", yakni peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Namun, wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.

"Pejabat pemerintah yang hadir dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dalam sikap pasif, namun khidmat," tulis Afandi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler