AS Tengahi Gencatan Senjata Baru di Nagorno-Karabakh
Armenia dan Azerbaijan akan mulai gencatan senjata kemanusiaan baru mulai Senin
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Armenia dan Azerbaijan akan memulai gencatan senjata kemanusiaan baru di Nagorno-Karabakh yang akan berlaku pada Senin (26/10) pukul 08.00 waktu setempat. Hal itu dikatakan oleh pernyataan bersama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Armenia, dan Azerbaijan.
Pernyataan tersebut muncul setelah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bertemu dengan Menteri Luar Negeri Armenia dan Azerbaijan di Washington untuk membicarakan soal perdamaian atas wilayah yang dipersengketakan pada Jumat (23/10). Pertemuan juga dilakukan dalam kerangka Misk Group (OSCE) yang dibentuk untuk menengahi konflik di wilayah tersebut dipimpin oleh AS, Prancis, dan Rusia.
Dalam pernyataan terpisah, OSCE Minsk Group mengatakan ketua bersama dan menteri luar negerinya akan bertemu lagi pekan depan untuk membahas masalah tersebut. Minsk Group mengatakan ketua bersama dan menteri luar negerinya setuju untuk bertemu lagi di Jenewa pada 29 Oktober.
Pertemuan dilakukan untuk membahas, mencapai kesepakatan, dan memulai implementasi, sesuai dengan jadwal yang akan disepakati, dari semua langkah yang diperlukan untuk mencapai perdamaian penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh.
"Selama diskusi intensif mereka, ketua bersama dan menteri luar negeri membahas penerapan gencatan senjata kemanusiaan segera, parameter yang mungkin untuk memantau gencatan senjata, dan memulai diskusi tentang elemen substantif inti dari solusi komprehensif," kata pernyataan itu dikutip laman Radio Free Europe, Senin (26/10).
Namun, pertempuran baru terjadi lagi pada Ahad (25/10) antara Azerbaijan dan pasukan etnis Armenia. Kedua belah pihak saling menyalahkan karena menghalangi penyelesaian konflik secara damai.
Armenia menuduh militer Azerbaijan menembaki permukiman sipil. Azerbaijan membantah menargetkan warga sipil dan mengatakan siap untuk melaksanakan gencatan senjata asalkan pasukan Armenia mundur dari medan perang.
Para pemimpin Armenia dan Azerbaijan telah memperkuat posisi mereka dalam beberapa hari terakhir meskipun ada dua gencatan senjata yang ditengahi Rusia. Kedua gencatan senjata gagal setelah disepakati.
Setidaknya sekitar 1.000 orang telah dilaporkan tewas sejak pertempuran meletus pada 27 September. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan konflik yang lebih luas di Kaukasus Selatan.
Pasukan Armenia dan militer Azerbaijan mengklaim telah saling merugikan satu sama lain. Namun laporan dari pihak lawan sering kali kontradiktif dan sulit diverifikasi.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada 22 Oktober lalu bahwa Moskow yakin hampir 5.000 orang telah tewas dalam pertempuran terakhir. Sesaat sebelum pembicaraan Washington dimulai, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan kembali tuntutan Ankara agar Turki menjadi salah satu ketua bersama Grup Minsk, sebuah posisi yang juga telah dikemukakan oleh Azerbaijan.
"Turki yakin memiliki hak yang sama dengan Rusia untuk terlibat di sini demi perdamaian," kata Erdogan.
Menurut Erdogan, grup Minsk belum membuahkan hasil apa pun sejauh ini. Erdogan mengatakan Azerbaijan mengajukan permintaan yang sah.
"Jika Armenia mengusulkan Rusia, kami akan mengusulkan Turki. Saya berharap kami (Turki dan Rusia) akan mengambil langkah-langkah sukses di masa depan juga untuk solusi di Suriah dan Libya serta masalah Azerbaijan-Armenia dan mencapai penyelesaian dalam masalah ini," kata Erdogan.
AS, Prancis, dan Rusia telah menolak seruan dari Turki untuk memainkan peran yang lebih langsung. Pompeo muncul pekan lalu untuk mengirim pesan terselubung ke Ankara yang menyarankan itu mengobarkan situasi berbahaya dengan mempersenjatai dan secara terbuka mendukung tindakan Baku.