Tak Seperti Orang Jawa, Kenapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden Indonesia?

Delapan presiden Indonesia berdarah Jawa.

BPMI
Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dari delapan presiden yang memimpin Indonesia, semuanya memiliki darah Jawa. Meski ada anggapan BJ Habibie jadi satu-satunya presiden dari luar etnis Jawa karena dianggap beretnis Gorontalo, pria yang dihormati warga Jerman tersebut menyebut ibunya asli orang Solo. Orang luar Jawa hanya mendapatkan 'jatah sebagai wakil presiden, seperti Bung Hatta, Umar Wirahadikusumah, Adam Malik, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla.

Satu-satunya orang Sunda yang tercatat pernah menempati posisi Wakil Presiden Indonesia adalah Umar Wirahadikusumah. Pria kelahiran Sumedang tersebut merupakan Wapres ke-4 RI di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Pertanyaannya, mengapa tidak ada orang dari etnis Sunda yang menjadi presiden?

Mantan rektor Universitas Padjadjaran Prof Dr Gandjar Kurnia DEA pernah menjabarkan alasan mengapa Orang Sunda sulit menjadi Presiden. Menurut dia, terlalu jauh jika masyarakat Sunda menuntut menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebab, pada kenyataannya, mereka belum memperlihatkan prestasi yang menonjol dalam memimpin wilayah sendiri.

"Gubernur Jabar orang Sunda, para bupati dan wali kota di Jabar umumnya juga orang Sunda. Tapi mengapa kita begini terus? Kondisi alam kita terus mengalami penurunan," katanya dalam "focused group discussion" di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, seperti diberitakan Republika.

Dia sepakat dengan MAW Brouwer yang mengatakan Tuhan menciptakan tatar Parahyangan dalam keadaan tersenyum. Sebab, kawasan ini memang sangat indah dan subur. Namun, sayang, tatar Pasundan saat ini rusak parah.

"Hutan lindung di Jawa Barat hampir lenyap. Pada musim hujan, sebagian besar wilayah ini banjir. Sebaliknya, di musim kemarau, mereka tak memiliki simpanan air. Sungai yang besar tercemar, sedangkan sungai kecil tak lagi berbekas," katanya.




Ia juga mengkritisi masyarakat di mana-mana membuang sampah ke selokan. Budaya bersih belum menjadi milik warga Pasundan. 

"Parahnya, sawah di daerah Rancaekek seperti telaga warna. Saat tertentu, air sawah berwarna biru, di saat yang lain kuning, berikutnya, merah dan seterusnya. Semua warna partai ada di sawah di Rancaekek," gurau Gandjar Kurnia.

Dalam paparannya bertema "Masyarakat Sunda dengan Alamnya" Gandjar mengemukakan, menuju masyarakat yang maju, adil dan makmur harus didukung oleh lingkungan yang kondusif. Sementara alam lingkungan di Tatar Pasundan semakin tidak kondusif menciptakan situasi terbaik itu.

"Bisa jadi, kalau Albert Einstein lahir di Tatar Pasundan, ia bukan jadi ahli fisika dan jadi pemikir hebat, melainkan sekadar jadi tukang bikin peuyeum (tape). Sebab, besar kecilnya pemikiran seseorang sangat bergantung pada lingkungan sekitar yang menciptakannya," kata Gandjar.

Rektor UPI periode 2005-2015, Prof Dr Sunaryo Kartadinata MPd mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, UPI terus menggali mutiara dalam jati diri masyarakat Sunda. Nilai tersebut dielaborasi untuk kemudian menjadi nilai bangsa dengan melakukan rekayasa sosial melalui pendidikan.

"Kita harus merumuskan tentang pendidikan kesundaan. Paling tidak, ke depan kita harus memiliki pola pikir tentang pendidikan kesundaan," kata Sunaryo.

Dalam diskusi yang dipandu Prof Dr Aminudin Aziz tersebut, dia mengatakan, terdapat banyak nilai yang perlu digali, diinventarisasi ulang, dan kemudian diformulasikan, nilai yang bagus harus diperkokoh, sementara yang sudah ketinggalan zaman bisa disesuaikan, bahkan yang tidak relevan diganti.

"Banyak nilai Sunda yang menunjuk pada kebijakan lokal (local wisdom). Hal itu ditandai dengan adanya kemampuan bertahan dari budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasikan unsur budaya luar, memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya," kata almarhum yang pernah menjabat sebagai Dubes Uzbeskistan tersebut.

Dalam kesempatan itu, dia memperlihatkan hasil penelitian yang menunjukkan orang tua (suami-istri) dengan etnik yang sama sebanyak 77,07 persen menggunakan bahasa ibu, sedangkan 22,97 persen menggunakan bahasa Indonesia. Sementara 22,92 suami-istri yang bukan satu suku Sunda justru menggunakan bahasa ibu sebanyak 81,81 persen dan 18,19 persen menggunakan bahasa Indonesia.

Sedangkan Dr Mikihiro Moriyama, guru besar tentang Indonesia Studies dari Nanzan University Jepang, saat itu mengungkapkan pandangan orang Belanda tentang masyarakat Sunda. Ia merujuk pada sebuah ensiklopedia (anonim) yang disusun orang Belanda awal abad ke-20 yang menyatakan, orang Sunda memiliki beberapa sifat yang dirasakan sangat menarik oleh banyak orang Eropa yang pernah tinggal bersama bangsa itu.

"Dia halus, sopan, suka menolong, ramah, dan menghindari pertengkaran dan perkelahian. Dia sederhana, tidak berlebih-lebihan, tenang, pendiam, pemalu, sopan, dalam pergaulan. Sudah barang tentu, ada pula sifat yang terselubung. Kesopanan dan sifatnya yang penurut sering menjadi sikap membudak dan mencari muka," kata Mihikiro Moriyama.

Menurut dia, biasanya, orang sunda tidak mempunyai inisiatif, berhemat dianggap aneh baginya, seperti halnya menjunjung kebenaran. "Perjudian dan perbuatan asusila menimbulkan banyak korban di antara orang Sunda," ujar Mikihiro Moriyama.

Ia juga mengungkapkan, tingkah laku para pimpinan terhadap orang kecil pada umumnya angkuh, khususnya pada zaman dahulu, sehingga dalam hal ini tak ada gambaran yang menyenangkan. Mikihiro menyatakan, nilai yang bagus pada masyarakat Sunda harus dipertahankan, sebaliknya nilai yang sudah ketinggalan harus ditinggalkan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler