Sampai Kapan Perang Antara Turki Versus Kurdi Berlangsung?
Kurdi mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah Suriah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Smith Alhadar*
Perang Turki-Kurdi Suriah tampak masih akan berlangsung relatif lama. Sejak 9 Oktober 2019, tiga hari setelah Amerika Serikat menarik mundur pasukannya dari Suriah, Turki melancarkan invasi ke Suriah utara dan timur laut untuk memukul mundur Unit Perlindung an Rakyat (YPG), milisi Kurdi, kekuatan utama Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
YPG dibentuk pada 2011 oleh Muslim Saleh Muhammad, anggota Partai Pekerja Kurdistan (PKK) beraliran Marxis. Tak heran, Turki menganggap YPG sebagai kepanjangan PKK yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.
Akibat perjuangan mendapatkan otonomi di Turki tenggara melalui pengeboman kotakota Turki, PKK ditetapkan sebagai organi sasi teroris oleh Turki, Uni Eropa (UE), dan Amerika Serikat. Namun, demi membasmi ISIS dari Suriah, Amerika Serikat membangun aliansi dengan YPG.
Orang-orang Kurdi dilatih dan diper senjatai Amerika Serikat dengan mengabaikan desakan Turki agar Amerika Serikat menjauhi YPG. Amerika Serikat di bawah Pemerintahan Presiden Barack Obama tidak menggubris permintaan Turki karena memandang perang terhadap ISIS lebih krusial ketimbang ancaman YPG terhadap teritori Turki.
Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, terutama setelah ISIS dikalahkan pada November 2017, Amerika Serikat memandang YPG sebagai beban yang menggerogoti ekonomi Amerika Serikat. Memang, Amerika Serikat bukan hanya memasok senjata melainkan juga dana kepada YPG.
Trump menganggap mempertahankan pasukan Amerika Serikat untuk perang di Suriah sebagai hal konyol. Sesuai janji kampanye Pilpres 2016, ia menarik pasukan Amerika Serikat dari wilayah di sepanjang perbatasan Turki selatan, wilayah yang kini diserbu Turki untuk dibuatkan zona aman. Turki hendak memindahkan dua juta dari 3,6 juta pengungsi Suriah di Turki ke sana. Tuduhan bahwa Turki hendak mengubah demografi di Suriah timur laut dengan memindahkan penduduk Arab ke wilayah Kurdi sebenarnya tidak beralasan, mengingat sebelum 2011 penduduk Arab di wilayah itu memang berjumlah dua juta jiwa.
Keinginan memulangkan pengungsi Suriah ke kampung halaman mereka, tak lepas dari beban ekonomi yang ditanggung Turki sehingga menjadi isu sensitif di masyarakat. Toh, ekonomi Turki sedang menurun sejak dua tahun terakhir.
Kekalahan para kandidat Partai Kemak mur an dan Keadilan (AKP) di kota-kota pen ting dalam pilkada pada Maret silam merupakan ekspresi penentangan rakyat terhadap kebijakan murah hati Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan terhadap pengungsi.
Kehadiran YPG di seberang perbatasan Turki juga menjadi kekhawatiran bagi warga Turki. Maka itu, operasi militer Turki di Suriah untuk memindahkan pengungsi dan mengusir YPG dari perbatasannya diharap kan mengembalikan popularitas AKP demi pemilu tahun depan.
Secara eksternal, Pemerintahan Erdogan berharap kehadiran pasukan Turki dan proksinya di zona aman yang kaya minyak, akan memberinya pengaruh lebih besar da lam ikut memilih orang-orang Suriah dukungannya untuk duduk di komite konstitusi, yang mana Turki akan mempertahankan ke hadirannya di wilayah Suriah sampai terbentuk negara yang independen, bersatu, dengan pemerintahan yang memiliki legi timasi.
Hal ini hanya mungkin terjadi bila semua pihak yang terlibat dalam konflik Suriah patuh pada Resolusi PBB Nomor 2254, yang menyerukan transisi politik pimpinan Suriah yang dapat menyusun konstitusi dan menyelenggarakan pemilu di bawah pengawasan PBB.
Setelah membebaskan wilayah yang menjadi targetnya, Turki akan menempatkan proksinya, yaitu Tentara Pembebasan Nasional (NLA), di zona aman. Ankara hanya akan membantu logistik dan data intelijen. Kalau demikian, ada kemungkinan memunculkan skenario berikut. YPG yang beraliansi dengan pasukan rezim Suriah akan berhadap-hadapan dengan NLA. Perang rezim Suriah-YPG melawan NLA-Turki akan terus berlangsung sampai salah satu pihak dikalahkan.
Hal mengejutkan, sekutu Turki di NATO meninggalkannya dengan menerapkan stan dar ganda kendati menetapkan PKK sebagai organisasi teroris, Jerman, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Italia, mengecam invasi Turki ke Suriah.
Alasannya, serbuan itu menciptakan instabilitas dan ancaman keamanan ka wasan. ISIS diduga akan muncul kembali. Du gaan ini seperti mendapat pembenaran ketika dilaporkan pada 20 Oktober, sekitar 900 personel ISIS melarikan diri dari penjara yang dijaga YPG.
Untuk menekan Turki menghentikan serbuannya, mereka menjatuhkan sanksi embargo senjata. Padahal, negara-negara yang sama memasok senjata pada negara-negara yang terlibat dalam perang Yaman yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil.
Uni Eropa memiliki kebijakan ekspor senjata, posisi bersama tentang kontrol eks por senjata 2008, yang menetapkan kriteria bahwa negara-negara anggota harus mempertimbangkan lisensi ekspor potensial. Termasuk, menghormati hak-hak asasi manusia dan hukum humanitarian internasional di negara tujuan ekspor.
Ketika ahli PBB menyimpulkan, negara-negara yang terlibat perang melanggar HAM internasional dan hukum humanitarian di Yaman, seharusnya anggota UE menghentikan ekspor senjata ke negara yang terlibat. Faktanya, mereka tidak melakukannya.
Hal inilah yang menyebabkan Erdogan mengabaikan sikap munafik UE meskipun kemungkinan Turki menghadapi perang yang tidak mudah di Suriah. Memang dari perspektif keamanan Turki, kehadiran YPG di sepanjang perbatasannya akan mengancam keamanannya.
YPG akan bahu-membahu dengan PKK untuk melancarkan serangan di kota-kota Turki. Apalagi rezim Suriah sejak Presiden Hafez al-Assad, ayah Presiden Bashar al- Assad, dikenal pendukung PKK dengan membiarkan Abdullah Ocalan, pendiri PKK, bermarkas di Damaskus.
Bergabungnya kembali YPG dengan rezim Assad tentu menimbulkan alarm bagi Turki. Tak heran Erdogan mengambil risiko berperang dengan YPG sampai sasaran Turki tercapai meskipun perang dapat berjalan relatif lama.
*Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies