Macron atau Islam yang Krisis? Sejarah Justru Berkata Lain
Sejarah membuktikan justru krisislah yang tengah dihadapi Macron
REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON - Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut bahwa Islam sebagai agama yang tengah mengalami krisis. Menanggapi hal tersebut, Dona Miles Mojab, seorang jurnalis kelahiran Iran yang menetap di Christchurch, Selandia Baru, mencoba meluruskannya dengan sejarah.
"Saya lebih baik mengatakannya sejelas mungkin sehingga tidak ada keraguan yang tertinggal di benak siapa pun," ujar Mojab dilansir dari stuff, Kamis (29/10).
Mojab menyatakan, dirinya sama muaknya atas aksi pemenggalan yang dilakukan pelaku terhadap seorang guru di Prancis. Ia juga menegaskan bahwa dirinya sama dengan yang lain, membenci kekerasan dan terorisme.
"Saya sangat mengutuk pemenggalan keji Samuel Paty, seorang guru sejarah Prancis yang menunjukkan kepada siswanya karikatur Nabi Muhammad saat diskusi kelas tentang kebebasan berekspresi. Saya mengagumi Samuel Paty karena peka terhadap siswa Muslimnya. Dan tidak akan pernah ada alasan (pembenaran) untuk tindakan kejam yang mengerikan, tidak ada, nihil, nol," kata Mojab.
Setelah memperjelas persepsinya terhadap kasus pemenggalan keji tersebut, Mojab juga ingin menambahkan pandangannya terkait pernyataan Macron, bahwa Islam dalam kondisi krisis.
"Sebelum saya membahas pernyataan kontroversial Presiden Emmanuel Macron, izinkan saya untuk membawa Anda mengenang kembali sejarah, karena masa lalu adalah kunci untuk memahami masa kini," ungkapnya.
Pada 1995, Prancis mengalami serangan Islam radikal yang menewaskan delapan orang dan melukai lebih dari 100 orang. Teroris kelahiran Aljazair, yang melakukan serangan bom metro, membawa perang saudara yang sedang berlangsung di Aljazair (pertarungan antara Islam dan militer) ke jalan-jalan penguasa kolonial mereka. Peristiwa itu menginspirasi generasi baru kelompok ekstrimis di Prancis yang dapat ditelusuri hingga pelaku pemenggalan guru tersebut.
"Ketika penembakan Charlie Hebdo terjadi lima tahun lalu, tidak mengejutkan saya bahwa terorisnya adalah Aljazair-Prancis. Sama seperti tidak mengejutkan saya melihat, dalam beberapa hari terakhir, posting twitter yang menunjukkan foto-foto tentara kolonial Prancis yang memegang kepala Muslim Aljazair," ungkap Mojab.
Hanya beberapa bulan lalu, Prancis akhirnya setuju untuk mengirim kembali ke Aljazair, 24 tengkorak pejuang Aljazair anti-kolonial abad ke-19. Di antaranya seorang pemimpin perlawanan, Sheikh Bouzian, yang ditembak dan dipenggal Prancis.
Tengkoraknya tersebut awalnya dibawa ke Prancis sebagai piala dan kemudian dipajang di Museum Nasional Sejarah Alam Prancis. Jika menelisik sejarah tersebut, maka tidak ada keraguan bahwa bayangan panjang sejarah kolonial Prancis selama satu abad itu, hingga hari ini masih ada dan tertanam.
Aljazair memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1962 setelah perang berdarah selama tujuh tahun, yang menurut pemerintah Aljazair menewaskan satu juta orang Aljazair.
Jika menelisik makin jauh ke masa lalu yang memalukan ini, maka akan terkuak sejarah pengabaian dan marginalisasi Muslim Aljazair-Prancis. Banyak dari mereka, hidup sebagai warga negara kelas dua di banlieues (pembangunan perumahan berpenghasilan rendah di pinggiran kota-kota Prancis, terutama Paris) tanpa harapan mobilitas sosial atau pernah dianggap sebagai orang Prancis sepenuhnya, meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Prancis sebagai imigran generasi kedua atau ketiga.
Pada 2017, Presiden Macron menggambarkan kolonialisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Serta setelah serangan teror di masjid di Christchurch, Macron bergabung dengan Perdana Menteri Selandia Baru dalam mengutuk kebencian dan radikalisasi daring.
"Ini semua baik dan bagus, tetapi jika Macron benar-benar serius untuk mengekang ekstremisme di negaranya, maka dia juga harus melihat ekstremisme kemiskinan, pengangguran, dan marginalisasi yang dialami Muslim di Prancis, apakah mereka orang Aljazair, Chechnya, atau lainnya," ujar Mojab.
Pada Juni lalu, kelompok-kelompok Aljazair dan Chechnya secara terbuka saling bertarung di Dijon selama beberapa malam berturut-turut, mengacungkan kapak dan senjata api.
Artinya, ujar Mojab, jika terjadi krisis di Prancis, itu tidak semata-mata disebabkan dari Islam seperti yang dikatakan Macron. Melainkan, hal ini berasal dari masa kolonial negara itu, dan krisisnya sendiri tentang ketidaksetaraan yang dalam dan rasisme struktural yang selama beberapa dekade, telah membuat generasi Muslim di Prancis merasa terhina, terpinggirkan, dan tidak memiliki tempat untuk ditinggali.
Karenanya, pidato Presiden Macron sebagai tanggapan atas pembunuhan keji dan proyeksi kartun kontroversial Nabi Muhammad di gedung-gedung pemerintah, hanya akan menyulut api perpecahan. Banyak negara Muslim, yang tersinggung oleh pernyataan Macron tentang Islam, ini berbuntut pada seruan memboikot seluruh produk berlabel Prancis.
"Di saat-saat krisis, para pemimpin sejati (biasanya) mendorong persatuan dan toleransi seperti yang dilakukan Perdana Menteri kita setelah serangan masjid di Christchurch. Dia melakukannya dengan mengutuk keras teroris, tetapi juga dengan mengakui adanya rasisme di Selandia Baru dan kebutuhan untuk menanganinya sebagai sebuah bangsa," ucap Mojab.
Jika saja Macron benar-benar berkomitmen pada kebebasan berekspresi di Prancis, tambah Mojab, harus bisa mempertimbangkan untuk membatalkan larangan penutup wajah atau cadar bagi umat Muslim Prancis. Adapun serangan teroris yang terus menerus terjadi di Prancis, solusinya adalah menciptakan kesetaraan.
"Solusinya mengatasi ketidaksetaraan yang mengerikan, mengakhiri stigmatisasi Muslim dan memperkuat institusi agama, sehingga pemuda Muslim dapat tetap berlabuh dan terhubung dengan komunitas mereka yang saleh dan cinta damai, alih-alih bergabung dengan geng dan kelompok ekstremis," tegas Mojab.
Sumber: https://i.stuff.co.nz/national/politics/opinion/300144015/islam-is-not-in-crisis-france-is