CORE: PSBB Jakarta Berkontribusi pada Rendahnya Inflasi Inti

Inflasi Jakarta ialah salah satu bobot perhitungan inflasi yang terbesar di Indonesia

PUSPA PERWITASARI/ANTARA FOTO
Pengunjung mencuci tangan saat memasuki kawasan wisata Kota Tua di Jakarta, Sabtu (24/10). Inflasi Jakarta merupakan salah satu bobot perhitungan inflasi yang terbesar di Indonesia
Rep: Adinda Pryanka Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center for Reform of Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya inflasi inti pada Oktober. Sebab, kontribusi ibu kota terbilang besar terhadap inflasi nasional.

Baca Juga


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin (2/11), tingkat inflasi pada Oktober mencapai 0,07 persen. Ini menjadi inflasi pertama setelah tiga bulan sebelumnya secara berturut-turut mengalami deflasi. Meski demikian, inflasi inti masih berada di level rendah, yaitu 0,04 persen.

Yusuf menuturkan, tren inflasi inti yang lebih rendah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya tidak terlepas dari PSBB ibu kota yang diperketat pada pertengahan September sampai pertengahan Oktober. "Inflasi Jakarta merupakan salah satu bobot perhitungan inflasi yang terbesar di Indonesia," ucapnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin.

Yusuf menambahkan, hal tersebut didukung juga dengan fakta inflasi DKI Jakarta yang menurun. Pada bulan lalu, tingkat inflasi ibu kota sebesar 0,01 persen, lebih rendah dibandingkan September yang mencapai 0,02 persen.

Inflasi inti yang rendah juga disebabkan oleh tren positif selama beberapa bulan terakhir. Pada Agustus dan September, misalnya, inflasi inti masing-masing berada di level 0,29 persen dan 0,13 persen. "Ini menyebabkan, basis perhitungannya sudah lebih tinggi," tutur Yusuf.

Yusuf menyebutkan, inflasi inti yang sudah berada di tren positif sebenarnya menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi sudah berjalan, namun berada pada level rendah. Hal ini juga terbukti jika data inflasi inti disandingkan dengan data pertumbuhan penjualan riil yang menggambarkan perbaikan, meski dengan pertumbuhan di level negatif.

Dengan dua faktor ini, Yusuf menilai, rendahnya inflasi inti pada bulan lalu tidak bisa serta merta dihubungkan dengan daya beli yang masih lemah. "Tidak bisa disimpulkan, inflasi inti yang masih berada di level 0,04 persen menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih patut diwaspadai," katanya.  

Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, inflasi inti kerap digunakan sebagai indikator daya beli masyarakat secara keseluruhan. "Secara umum, saya menyimpulkan, inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli belum pulih," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin.

Meski demikian, Suhariyanto menjelaskan, penyebab inflasi inti yang rendah ini bukan semata-mata karena kemampuan konsumsi masyarakat. Karakteristik dan perilaku kelompok rumah tangga yang berbeda-beda pada masa pandemi Covid-19 menjadi faktornya.

Suhariyanto menuturkan, 40 persen lapisan masyarakat terbawah memang mengalami penurunan daya beli. Sebagian di antara mereka harus terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun dirumahkan akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi. "Mereka alami penurunan upah, sehingga daya belinya pu menunjukkan penurunan," ucapnya.

Di sisi lain, Suhariyanto menambahkan, masyarakat menengah ke atas cenderung menahan konsumsi. Mereka memilih menabung atau berinvestasi untuk menghadapi ketidakpastian yang masih tinggi. Langkah ini turut memberikan andil pada penurunan inflasi inti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler