Trump Bisa Nyapres Lagi di 2024 Jika Kalah Tahun Ini

Mantan penasihat kampanye Trump menyebut Trump masih dapat maju pilpres 2024

AP/Evan Vucci
Presiden Donald Trump berbicara di Gedung Putih, Kamis, 5 November 2020, di Washington.
Rep: Puti Almas Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menjadi kandidat pejawat dalam pemilihan presiden negara adidaya tersebut tahun ini kemungkinan besar kalah. Dengan rival dari Partai Demokrat Joe Biden yang unggul dalam mendapat suara elektoral yang dibutuhkan untuk melenggang ke Gedung Putih, pria berusia 74 tahun itu mungkin dapat kembali memperjuangkan kepemimpinannya pada 2024.

Mantan penasihat kampanye Trump, Bryan Lanza, mengatakan ada potensi yang baik jika ingin kembali mengikuti pemilihan presiden AS empat tahun mendatang. Ia juga menyebut bahwa secara usia, di tahun tersebut tidak akan masalah baginya.

“Dia (Trump) akan lebih muda dari Biden dibandingkan tawaran untuk kursi kepresidenan saat ini. Jadi usia bukanlah masalah,” ujar Lanza, dilansir The Independent, Kamis (5/11).

Lanza menuturkan jika Biden terpilih dan memimpin AS, maka ada kesempatan baginya untuk memandu Negeri Paman Sam keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Seluruh dunia akan melihat apakah ia dapat sukses melakukannya atau justru gagal.

“Biden akan memiliki kesempatan untuk memandu negara ini keluar dari Covid-19 dan kita akan melihat apa kesuksesan atau kegagalannya. Tidak ada seorang pun di partai Republik yang dapat menantang Trump dalam pemilihan pendahuluan,” jelas Lanza.

Menurut Lanza jika Trump kalah dalam pemilihan yang sangat ketat, pengusaha itu tetap bisa melangkah kuat untuk maju kembali. Ia meyakini Partai Republik akan membiarkan itu terjadi.

Jika apa yang dikatakan Lanza benar, itu menegaskan bahkan jika kepresidenan pertama Trump saat ini berakhir karena salah dalam pemilihan 2020, karier politiknya akan terus berlanjut. Meski konstitusi AS tidak mengizinkan presiden mana pun untuk menjabat lebih dari dua masa jabatan, undang-undang tersebut tidak menyebutkan apa pun tentang kedua masa jabatan yang harus berurutan.

Saat ditanya tentang upaya Trump untuk merusak proses pemilihan dengan meningkatkan keraguan atas penghitungan suara yang sedang berlangsung, Lanza mengatakan itu tidak berbeda dari apa yang dilakukan Partai Demokrat pada pemilihan presiden AS 2016. Saat itu, mereka memberitahu seluruh dunia bahwa Rusia terlibat dalam terpilihnya Trump empat tahun lalu.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler