Memutus Mata Rantai Covid-19 dengan Teknologi Baru

Ada empat bidang implementasi teknologi kesehatan.

dokpri
Yusuf Aziz Amrulloh
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Aziz Amrulloh*


 

Saat ini, kita masih harus menerima kenyataan bahwa pandemi Covid-19 belum berakhir. Jumlah kasus dan korban semakin meningkat. Berita baiknya, pengembangan vaksin untuk Covid-19 menunjukkan hasil yang positif.

Namun, banyak ahli memperkirakan bahwa Covid-19 belum akan hilang satu sampai dua tahun yang akan datang. Hal ini tentunya perlu kita antisipasi dengan adaptasi kebiasaan baru agar jumlah jumlah kasus dan korban tidak terus meningkat.

Di masa adaptasi kebiasaan baru, masyarakat sudah sangat familier dengan gerakan 3M yaitu mencuci tangan, mengenakan masker dan menjaga jarak. Perilaku positif tersebut perlu dijaga paling tidak sampai pandemi Covid-19 berakhir.

Akan tetapi, hal tersebut belum maksimal karena tidak semua orang patuh dengan kebiasaan tersebut. Sebagai contoh, masih banyak orang yang melepas masker atau tidak mengenakan masker dengan baik di pusat perbelanjaan, walaupun ketika masuk mereka sudah diminta mengikuti prosedur seperti mencuci tangan dan mengikuti pengukuran suhu tubuh.

Untuk menegakkan disiplin dalam populasi yang besar, sangat susah untuk dikerjakan secara manual. Kita memerlukan bantuan teknologi yang saat ini sudah tersedia, namun belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Berkaca pada negara yang tergolong sukses mengendalikan pandemi Covid-19, teknologi yang diintegrasikan dalam bentuk kebijakan dan tatalaksana kesehatan mempunyai implikasi yang luar biasa dalam mengendalikan Covid-19. Paling tidak ada empat bidang implementasi teknologi kesehatan yang meliputi skrining infeksi, pelacakan kontak, karantina mandiri, serta pelayanan kesehatan.

Skrining infeksi dan pelacakan kontak merupakan ujung tombak pencegahan meluasnya infeksi Covid-19. Setidaknya ada beberapa masalah yang perlu segera diselesaikan yaitu masih rendahnya jumlah tes yang dilakukan, pelacakan kontak yang tidak dilaksanakan sepenuhnya, dan belum terintegrasinya data skrining dan pelacakan.

Saat ini standar emas untuk penegakan diagnosis Covid-19 menggunakan tes PCR.  Harga mesin PCR dan operasionalnya tergolong sangat mahal, namun tes ini sangat krusial untuk menegakkan diagnosis.

Untuk membantu mengatasinya, beberapa teknologi baru perlu didorong penggunaannya untuk mendukung tes cepat. Teknologi baru seperti hidung elektronik (electronic nose) maupun pemrosesan suara sinyal batuk dapat digunakan untuk mendeteksi gejala pneumonia yang diakibatkan virus korona. Jika tingkat sensitivitas dan spesifitas teknologi baru ini cukup tinggi, maka skrining masal cepat bisa lebih mudah dilaksanakan.

Hasil diagnosis positif perlu dilanjutkan dengan usaha pelacakan kontak. Sayangnya, hal ini masih belum maksimal karena masih banyak proses dilakukan secara manual. Di sisi lain pemanfaatan teknologi telekomunikasi dapat digunakan untuk membantu pelacakan kontak.

Provider layanan telekomunikasi dapat mengecek pergerakan individu berdasarkan handphone yang mereka gunakan. Tentunya perlu payung hukum terkait hal ini agar tidak melanggar privasi dari masing-masing individu.

Alternatif lain adalah kewajiban menginstal aplikasi pelacakan bagi penderita positif Corona beserta kontak dekatnya untuk memudahkan pengawasan. Apabila data skrining dan pelacakan kontak bisa diintegrasikan, maka penggunaan teknologi kamera thermal bisa dioptimalkan juga, bukan saja hanya untuk mengukur suhu, namun juga untuk mendeteksi wajah individu apabila mereka melakukan pelanggaran karantina mandiri maupun protokol 3M di muka umum.

Karantina mandiri merupakan salah satu solusi atas keterbatasan jumlah fasilitas di rumah sakit. Rumah menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Untuk pasien yang yang mempunyai gejala minor, rumah sakit dapat memberikan layanan home hospitalization dengan teknologi telemedicine untuk konsultasi, pemeriksaan maupun resep sampai dengan pengantaran obat.

Oleh karena itu, pasien tetap terlayani dengan baik dan secara psikologis lebih nyaman karena dekat dengan anggota keluarga. Yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai terjadi penularan ke anggota keluarga yang lain. Selain kepatuhan terhadap protokol 3M, penggunaan teknologi dapat membantu memutus mata rantai virus Covid-19.

Pengetahuan terkini menginformasikan bahwa sinar ultraviolet c dengan panjang gelombang sekitar 200 nm mampu membunuh virus korona. Selain itu kelembaban relatif di atas 40 persen dapat mengurangi resiko penularan hingga 60 persen karena droplet maupun aerosol.

Lebih lanjut dalam uji terbatas ion negatif dan positif yang dilepas ke udara mampu menonaktifkan virus korona. Teknologi di atas dalam dikombinasikan dalam modul sterilisasi udara yang murah dan bisa diimplementasikan di rumah maupun rumah sakit untuk mengurangi viral load.

Rumah sakit sendiri memegang peranan yang sangat penting. Tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan, namun yang terpenting adalah sebagai pusat data. Data yang lengkap dari proses skrining sampai dengan pengobatan dapat digunakan untuk perencanaan penanganan Covid-19 secara lebih holistik.

Dukungan teknologi komputasi awan dan kecerdasan buatan yang telah ada saat ini dapat digunakan untuk memproses data tersebut guna mendukung keakuratan skrining, penegakan disiplin, pelacakan kontak, penegakan diagnosis sampai dengan perencanaan jalur pasokan untuk keperluan medis. Tentunya, hal ini merupakan pekerjaan yang sangat besar dan kompleks. Pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi perlu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

*Ketua Program Studi Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler