Pria Asal Libya Akui Salah Atas Kasus Pembunuhan di Inggris
Pengadilan belum pastikan motif pria Libya bunuh apakah terkait ideologi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang pria Libya pada Rabu mengaku bersalah atas tiga pembunuhan dan tiga percobaan pembunuhan setelah menikam enam orang di sebuah taman Inggris awal tahun ini.
Khairi Saadallah (26 tahun) dijadwalkan dan diadili atas serangan di Forbury Gardens di Reading, Barat London pada Sabtu malam 20 Juni lalu.
Pada pra-sidang di pengadilan Old Bailey di pusat kota London, dia mengaku bersalah atas dakwaan tersebut. Saadallah awalnya ditangkap polisi karena dicurigai melakukan pembunuhan. Kemudian dia ditangkap kembali berdasarkan undang-undang anti-terorisme.
Kasus penuntutannya berupa serangan terror. Tetapi sang hakim, Nigel Sweeney, mengatakan kepada pengadilan bahwa Saadallah membantah adanya dorongan ideologis yang menjadi alasan dia melakukan pembunuhan.
Sementara Jaksa, Alison Morgan menyebut kasus itu pantas dihukum seumur hidup di penjara. Hukuman ditunda hingga pekan 7 Desember. Pengadilan akan memeriksa apakah Saadallah didorong dari agama, politik, atau ideologi dan perencanaan apa pun yang memengaruhi kondisi mentalnya pada saat itu.
Dilansir English Al Arabiya, Jumat (13/11), para korban, yakni guru sejarah James Furlong (36 tahun), ekspatriat AS Joe Ritchie Bennett (39 tahun), dan seorang ilmuan, David Wails (39 tahun) masing-masing tewas karena satu tusukan. Sedangkan tiga orang lainnya dibawa ke rumah sakit untuk dirawat karena luka tusuk lalu dibebaskan.
Penusukan itu menyusul dua serangan pisau level tinggi di dekat Jembatan London pada November tahun lalu dan satu lagi di Streatham pada Februari. Dua orang tewas dalam insiden pertama dan tiga orang terluka dalam insiden kedua.
Pelaku yang keduanya ditembak mati polisi bersenjata, sama-sama terpidana teroris yang dibebaskan lebih awal dari penjara. Saadallah dikenal Dinas Keamanan Inggris.
Kantor berita Asosiasi Pers domestik Inggris mengutip dokumen pengadilan yang mengatakan Saadallah tiba di negara itu sebagai pengungsi, setelah melarikan diri dari konflik di negara asalnya Libya.
Dia memiliki enam hukuman sebelumnya untuk 11 kejahatan antara Juni 2015 dan Januari tahun lalu, termasuk penyerangan rasial, pelanggaran pisau, dan kerusakan kriminal. P
ada November 2018, dia ditahan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Mental dan dikatakan memiliki riwayat utang, tunawisma, alkohol, dan penyalahgunaan zat.
Dokumen tersebut menunjukkan dia menderita gangguan stres pasca-trauma, depresi, dan gangguan kepribadian yang membuatnya agresif dan tidak dapat diprediksi. Dia telah dibebaskan lebih awal dari penjara pada bulan Juni setelah hukuman sebelumnya dikurangi di tingkat banding.